Sebuah gelombang kecil sedang asyik bermain di tengah laut, naik turun, berayun seperti tidak akan berakhir. Begitu senangnya, ia menikmati angin dan udara segar yang bertiup sepoi-sepoi, sampai ketika suatu saat ia melihat gelombang-gelombang lain di depannya, pecah, terhempas berhamburan begitu saja di tepi pantai.
"Ya Tuhan, mengerikan sekali," kata gelombang itu, yang kini sudah besar, "Lihat! akan seperti itukah nasibku nanti?" Sebuah gelombang lain yang berada didekatnya melihat kemurungan di wajah gelombang yang pertama, maka ia bertanya kepadanya, 'Mengapa engkau tampak sedih?'
Gelombang yang pertama menyahut, "Engkau tidak mengerti! Kita semua akan hancur berantakan! Semua gelombang seperti kita akan lenyap tanpa bekas! Tidakkah itu mengerikan?"
Gelombang yang kedua berkata, "Sebaliknya, justru engkau yang belum mengerti. Engkau bukan gelombang, engkau bagian dari lautan."
Begitu halnya kehidupan manusia, seringkali hidup kita merasa seperti apa yang terjadi dengan gelombang tersebut. Kita menjadi takut menghadapi kehidupan yang memiliki ujung adalah kematian. Kita sepertinya tidak bisa berpisah dengan kehidupan ini. Tidak ada seorang pun yang dapat memundurkan kembali jarum jam dan mengulang semua yang terlanjur kita perbuat. Hal ini mengajar kita agar lebih bersikap terbuka, tidak hanyut oleh kepalsuan, agar memberi perhatian kepada orang yang kita sayangi, seolah-olah itu terakhir kali ia bisa mendengarnya.
"Selama kita dapat saling mencintai, dan mengingat rasa cinta yang kita miliki, kematian tidak dapat membuat kita harus berpisah. Semua kasih yang kita berikan akan tetap ada. Semua kenangan tentang itu masih ada. Kita akan hidup terus-dalam hati siapa pun yang pernah kita sentuh dengan kasih sayang."
Ada ungkapan yang berkata bahwa memang kematian mengakhiri hidup, tetapi tidak mengakhiri suatu hubungan.
Sumber : Buku Tuesday With Morris, ‘Pelajaran Tentang Makna Hidup”/bm