Akibat Kutukan Atau Inses?

Serba-Serbi Sehat / 18 March 2008

Kalangan Sendiri

Akibat Kutukan Atau Inses?

Lestari99 Official Writer
15665

Ngadiyem mengaku sudah kehabisan air mata untuk meratapi hidup. Perkawinannya dengan suami pertama membuahkan tujuh anak, yang semuanya dalam kondisi cacat mental alias tunagrahita. Janda ditinggal mati suami ini kemudian menikah lagi dengan Giyono, 25 tahun. Waktu itu, usia Ngadiyem 35 tahun.

Perkawinan kedua ini tak membuahkan anak. Maka, demi menimang buah hati, Ngadiyem merelakan anak kandungnya, Dami, dipersunting Giyono. Pasangan Giyono-Dami ini melahirkan lima anak, semuanya juga tunagrahita. Kini, Ngadiyem, 60 tahun, sudah pasrah pada suratan.

Demikian pula Giyono. "Tapi, hati saya sekarang agak terhibur," katanya. Sebab, anak tertuanya, Tardi, 25 tahun, sudah bisa disuruh mencari rumput dan membelikan minyak tanah. Sebelumnya, kelakuan Tardi seperti anak di bawah usia lima tahun.

Kisah serupa juga menimpa tetangganya, Sarjono, dari Dusun Karangpoh, Semin, Gunung Kidul, Yogyakarta. Keempat anak Sarjono mengalami mental terbelakang pada tingkat embisil dan idiot. Hampir setengah warga dusun (60 orang) di lereng Pegunungan Seribu - sekitar 70 kilometer arah tenggara kota Yogyakarta - itu terkena tunagrahita.

Lebih memelas lagi kondisi di Kecamatan Semin. Berdasar catatan tahun lalu, penyandang tunagrahita mencapai 700 dari kurang lebih 40.000 penduduknya. Padahal, tahun 1984 baru tercatat 450 penderita. "Mungkin tahun ini bertambah lagi," kata Sutimin, pengajar Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Putra, sekolah khusus penderita tunagrahita di Semin.

Yang mengherankan lagi, meski Dharma Putra sudah dua tahun berdiri, muridnya cuma 32 orang. "Kami tiap hari keliling ke desa-desa mencari anak yang cacat mental. Tapi, banyak orang tuanya yang tidak rela anaknya masuk SLB," ujar Sutimin.

Menurut Sutimin, 44 tahun, kepedulian terhadap penyandang cacat ini masih minim. Untung saja, dua tahun lalu sebuah yayasan dari Belanda, Wereldkinderen-The Hague The Netherlands Sponsor Project 81 -bekerja sama dengan Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta- mendirikan SLB Dharma Putra.

Ruang gerak sekolah ini pun belum leluasa. Kucuran dana Rp 500.000 per tahun dari Pemerintah Daerah Gunung Kidul tak mencukupi untuk biaya operasionalnya. "Kami hanya berharap tetesan embun dari para dermawan," tutur Sutimin, pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gunung Kidul golongan III/C.

Yang membuat Sutimin bersyukur, siswanya sudah tak lagi makan kotoran dan minum air seninya sendiri. "Mereka sudah bisa mandi sendiri," ujar Sutimin. Cuma, Sutimin mengeluhkan fasilitas sumur yang belum dipunyainya. Maka, anak-anak itu jarang mandi. Penyandang tunagrahita di Semin bisa dikategorikan berat dan lambat berpikir.

Mengapa Karangpoh gudang tunagrahita? Menurut Sukiran Ashari, Kepala SLB Dharma Putra, itu semua karena "mitos" kutukan pada Sonto Sentiko, salah seorang warganya. Pada sekitar 100 tahun silam, Sonto ketamuan perempuan tua. Ia minta makan dan ingin berteduh.

Permintaan itu dibalas Sonto dengan ketidakramahan. Lalu, nenek tua itu mengutuk, kelak anak dan cucu Sonto akan menderita sampai tujuh turunan. Rupanya, kutukan itu benar-benar terjadi. Cucu Sonto - terutama yang perempuan - mengalami kelainan jiwa. "Kalau dihitung, sampai kini baru tiga generasi keluarga Sonto," kata Sukiran.

Benar tidaknya semua ini akibat kutukan atau akibat pernikahan sedarah belumlah diketahui. Yang disayangkan, sampai kini belum pernah ada pakar kedokteran dan kesehatan masyarakat yang meneliti keanehan itu. Hal ini diakui Dr. Sunartini, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengamatan Tumbuh Kembang Anak, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Menurut Sunartini, kasus di Karangpoh kemungkinan karena terjadinya "kawin sedarah" atau "inses". Perkawinan jenis ini memotivasi munculnya kelainan pada keturunannya, kendati harus dibuktikan apakah pewarisan secara mendel, dominan atau resesif.

Penyebab tunagrahita itu, kata Sunartini, bisa berawal dari proses kelahiran yang lama dan sulit. Lingkungan juga punya andil, seperti airnya mengandung logam berat. "Selama ini, kelainan pokok anak di Semin belum didiagnosis. Perlu dicari penyakit pokoknya apa," Sunartini menambahkan. Sayangnya, ya itu tadi, belum ada yang mencari solusi dengan alasan tak ada dana.

Sumber : gatranews
Halaman :
1

Ikuti Kami