Hilangnya Putra Terbaik Indonesia

Nasional / 29 December 2008

Kalangan Sendiri

Hilangnya Putra Terbaik Indonesia

agnes.faith Official Writer
7414

JAKARTA, SENIN - Tahun 2008 menorehkan kesedihan buat dunia olahraga Indonesia. Bukan hanya prestasi yang tidak kunjung membaik, kita juga kehilangan beberapa putera terbaik.

Di dunia sepakbola, kehilangan itu sangat terasa. Kita kehilangan dua putera terbaik di dunia sepakbola yang pernah kita miliki, Ronny Pattinasarany dan Iswadi Idris. Keduanya pernah menjadi pilar utama timnas Indonesia era 1970-1980-an.

Ronny Pattinasarany, yang pernah menjadi kapten timnas pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, meninggal dunia dalam usia 59 tahun di Omni Medical Center, Jakarta, Jumat (19/9). Penyakit kanker hati yang mulai disadari bersarang di tubuh Ronny pada Desember 2007, ternyata telah menyebar hingga tulang belakang dan paru-parunya.

Meski sempat menjalani perawatan di Guangzhou, China sebanyak empat kali, Ronny akhirnya menghadap sang pencipta. Ia meninggalkan kisah hidup yang penuh warna sejak menjadi pemain muda berbakat pada 1960-an, kapten timnas 1970-1980-an hingga keterlibatannya dengan dunia sepakbola nasional sebagai pengurus PSSI, pelatih klub mau pun timnas.

Sementara rekannya sesama angkatan, Iswadi Idris meninggal dunia pada 11 Juli 2008 di Jakarta. Kelahiran Kota Raja, Banda Aceh 18 Maret 1948, Iswadi bisa jadi merupakan pemain paling kontroversial dalam sejarah sepakbola nasional. Sebagai pemain sayap timnas dekade 1970-an ia dianggap sebagai pemain tercepat di Asia. Dengan kecepatan serta skillnya yang tinggi ia mampu mengatasi handicap tubuhnya yang pendek.

Sementara sebagai kapten timnas Indonesia ia kerap dianggap sebagai biang keladi keributan mau pun isu skandal suap yang melanda setiapkali timnas mencatat prestasi buruk.

Pada masa-masa Iswadi dan Ronny aktif sebagai pemain, timnas Indonesia dianggap masuk dalam lima besar kekuatan di Asia. Di Asia Tenggara, Indonesia bersaing dengan Burma (sekarang Myanmar) dan selalu membulan-bulani Thailand dan Singapura. Mereka menjadi juara di Djakarta Anniversary Cup III pada 1972 dan runners-up President's Cup di Korea Selatan Di ajang terakhir ini, Indonesia pernah mengalahkan Filipina 12-0, sehingga media massa Indonesia memasang head-line berita olahraga, "Hujan lebat gol di Seoul..."

Pada masa 1970-an itu pula timnas ditangani pelatih bertangan dingin, Drg Endang Witarsa. Pelatih legendaris bernama asli Liem Soen Yoe ini meninggal dunia Rabu, 2 April 2008 di RS Pluit Jakarta dalam usia 91 tahun. Sebagai dokter gigi ia lebih suka mendidik para pesepakbola melalui klubnya, Union Makes Strength (UMS), Persija Jakarta mau pun timnas.

Pada 9 Maret 2008, ayah Ronny, Stevanus "Nus" Pattinasarany meninggal dunia di usia 84 tahun. Nus merupakan tokoh sepakbola yang sangat berpengaruh di PSM Makassar dan sepakbola nasional pada 1960-an. Dari tangannya lahir satu legenda sepakbola nasional, yaitu anaknya sendiri, Ronny Pattinasarany atau Ronny patti.

Sebulan kemudian pada 12 April, seorang mantan pemain timnas era 1970-1980-an, Stevanus Sirey juga meninggal dunia. Mantan pemain klub Warna Agung saat Galatama ini pernah membela timnas di ajang SEA GAmes, Piala Kemerdekaan atau pun Merdeka Games.

Sementara itu dunia bulu tangkis Indonesia, sekaligus kehilangan dua pahlawan masa lalu. Salah satu pahlawan bulu tangkis Indonesia pertama yang merebut Piala Thomas tahun 1958 di Singapura, Njoo Kim Bie, wafat dalam usia 80 tahun, Senin (7/1) pukul 22.45, di Rumah Sakit Katolik atau Rooms Katholiek Ziekenhuis (RKZ) St Vincentius A Paulo, Surabaya.

Kelahiran Surabaya, 17 September 1927, semasa jayanya, Njoo yang berpasangan dengan Tan King Gwan. Oleh media massa Malaya dan Singapura, pasangan ini mendapat julukan "ghost double," yang oleh media massa Indonesia diterjemahkan sebagai "pasangan hantu." Ini untuk menunjukkan kekaguman mereka kepada pasangan yang memiliki pukulan smash yang keras dan sulit ditangkap oleh mata.

Anggota tim Indonesia yang merebut Piala Thomas pada 1958 lainnya, Lie Poo Djian juga meninggal dunia pada 1958. Poo Djian atau Pudjianto yang menderita stroke, meninggal dunia di Jakarta, Sabtu (9/8) pada usia 75 tahun.

Poo Djian yang lahir di Purwokerto merupakan bagian tim Piala Thomas 1958 yang beranggotakan Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Olich SOlihin, Eddy Yusuf, Tan King Gwan dan Njoo KIm Bie. Pada 1958, mereka melakukan mission impossible, datang ke challenge round Piala Thomas sebagai tim yang diremehkan, namun mampu mengalahkan juara bertahan Malaya yang saat itu diperkuat pemain utama dunia seperti Wong Peng Soon dan Eddy Choong.

"Dari tujuh pemain Piala Thomas 1958, tinggal saya yang tersisa," kata Tan Joe Hok. Juara All England 1959 ini hingga kini masih aktif mengikuti perkembangan olahraga bulutangkis. Sebelum kepergian Poo Djian yang juga adalah iparnya, Joe Hok sempat menceritakan bagaimana sebelum terkena stroke, iparnya tersebut tetap bersemanghat setiapkali berbicara tentang bulutangkis Indonesia. Sementara ketika meninggal dunia di Surabaya, Njoo Kim Bie membawa jas berlencana PBSI ke dalam kuburnya.

Kinimungkin saatnya kita menghargai jasa-jasa mereka dan menyimpan semangat hidup mereka. "Old athletes never die. They just fade away...."

Sumber : kompas
Halaman :
1

Ikuti Kami