Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir di Jakarta, Selasa (23/12), menilai putusan Mahkamah Konstitusi itu memberikan pengakuan kepada partai politik untuk menempatkan kadernya yang mempunyai dukungan suara terbanyak duduk di parlemen.
"Keputusan MK adalah kemenangan bagi demokrasi. Suara rakyat yang menghendaki wakilnya yang meraih suara terbanyak duduk di parlemen dapat diwujudkan," ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto mengatakan pula, putusan itu mencerminkan MK menghormati hak rakyat.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, menambahkan, putusan MK itu menjadi kontribusi penting bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Fakta politik menunjukkan, orang baru sulit masuk ke lembaga legislatif karena nomor urut dikuasai orang itu-itu saja.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P Tjahjo Kumolo mempertanyakan putusan itu. "Apakah MK punya wewenang menentukan sistem pemilu?" ucapnya.
Ia juga menilai, putusan MK itu menjungkirbalikkan mekanisme sistem proporsional dalam pemilu yang ditetapkan UU sebab bukan distrik murni. Seharusnya tetap ada kebebasan pada partai untuk menentukan sistem yang dipakai dan dihormati sebab ada kedaulatan rakyat serta kedaulatan partai menentukan caleg.
Tak boleh standar ganda
MK dalam sidang yang dipimpin Mahfud MD, Ketua MK, Selasa di Jakarta, memutuskan, caleg terpilih dalam Pemilu 2009 tidak boleh lagi menggunakan standar ganda, memakai nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg seperti yang diakomodasi Pasal 214 Huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008. MK memutuskan penetapan caleg terpilih harus didasarkan pada suara terbanyak.
Putusan MK itu menanggapi permohonan uji materi yang diajukan Mohammad Sholeh, Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima S. Sholeh adalah caleg dari PDI-P untuk DPRD Jawa Timur. Sutjipto dan Septi adalah caleg dari Partai Demokrat untuk DPR. Jose adalah warga negara biasa. MK hanya mengabulkan permohonan mereka yang terkait penentuan caleg terpilih.
MK menyatakan, Pasal 214 bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat. Pasal 214 Huruf a-e menyatakan, "Calon terpilih adalah calon yang mendapatkan suara di atas 30 persen bilangan pembagi pemilih, atau menempati nomor urut kecil jika tidak memperoleh 30 persen BPP, atau menempati nomor urut kecil jika memperoleh BPP."
Menurut MK, ketentuan Pasal 214 inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945. Penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut adalah pelanggaran kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat tidak diindahkan dalam penetapan caleg.
MK menilai kedaulatan rakyat dan keadilan akan terganggu. Jika ada dua caleg yang mendapatkan suara yang jauh berbeda ekstrem, terpaksa caleg yang mendapatkan suara terbanyak dikalahkan caleg yang mendapatkan suara kecil, tetapi nomor urut lebih kecil.
MK juga menyatakan, memberi hak kepada caleg terpilih sesuai nomor urut sama artinya dengan memasung suara rakyat untuk memilih caleg sesuai pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati, menjelaskan, KPU akan mengikuti putusan MK dalam menetapkan caleg terpilih itu. KPU akan mengeluarkan peraturan KPU terkait dengan persoalan itu.
Mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan menyatakan, sebagai tindak lanjut putusan MK, harus ada pertemuan konsultasi antara pemerintah, DPR, dan KPU.