Dialah Pandji Wisaksana, pria kelahiran Bandung, 25 Juni 1925, pengusaha yang telah meniti karier sejak zaman pendudukan Jepang. Perhatiannya kepada orang buta juga telah dimulai sejak muda. Pada tahun 1968, bersama Ny. Nani Ali Sadikin, Pandji mendirikan Bank Mata.
Hingga kini, di masa pensiun, Pandji masih aktif menggalang dana bagi tunanetra dan mereka yang mempunyai masalah mata. Dia masih menjabat sebagai Penasihat Bank Mata Indonesia Pusat dan masih bolak-balik ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk menjenguk orang-orang yang menjalani operasi katarak. Awal Januari lalu dia juga menerbitkan sebuah buku biografi dirinya berjudul Mata Hati Sang Pioneer Indonesia. Di bagian belakang buku itu tertulis pemberitahuan, semua hasil penjualan buku akan disumbangkan untuk menanggulangi kebutaan yang disebabkan katarak pada masyarakat kurang mampu.
Keterlibatan Pandji pada perkumpulan filantropi dunia, Lions Club, sejak tahun 1971 agaknya juga membuka jalan lebar buat Pandji untuk menolong orang buta. Dengan memakai bendera Lions Club, tidak terhitung lagi kegiatan yang diprakarsai Pandji untuk menolong orang buta. Dari membagikan 10.000 tongkat putih, kampanye kepedulian pada orang buta, hingga ikut serta dalam proyek Flying Eye Hospital dari Amerika Serikat pada tahun 1982. Flying Eye Hospital adalah sebuah pesawat DC-8 yang diubah menjadi rumah sakit mini khusus untuk bedah mata yang dilengkapi dengan sembilan kamera audiovisual.
Ayah yang buta
"Seperti memberikan dunia baru bagi mereka," ujar Pandji memulai pembicaraan tentang kiprahnya pada orang buta. Bukan tanpa latar belakang Pandji tertarik menolong orang buta. Ayahnya, almarhum Phan Jam Soe, adalah penyandang tunanetra akibat bekerja di tambang timah di Pulau Belitung. "Ayah sudah melakukan berbagai cara pengobatan hingga ke Bandung, tetapi tidak sembuh juga. Malah akhirnya buta," kenang Pandji yang lahir di Bandung, 25 Juni 1925.
Walau buta, Phan Jam Soe tidak ketinggalan informasi. Setiap sore dia meminta salah seorang pegawainya untuk membacakan buku atau koran. "Ayah tidak seperti orang buta. Penciuman dan pendengarannya yang tajam membuat dia bisa bekerja dan tahu banyak hal. Dia sukses sebagai pedagang," tutur Pandji yang pernah bercita-cita menjadi dokter mata.
Kiprah Pandji sendiri di bidang sosial sebenarnya sudah dia rintis sejak muda. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1945, Pandji yang bekerja sebagai wartawan di Bandung Herald, harian berbahasa Mandarin pertama di Bandung, selalu membawa tas P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan) ke mana pun dia meliput. Kebiasaan ini tumbuh karena sejak berusia 12 tahun Pandji ikut dalam kegiatan pandu. Di situlah Pandji belajar untuk peduli kepada sesama.
"Ketika Jepang menjajah, sering terjadi letupan perlawanan. Jadi, setiap kali bekerja, saya melakukan dua tugas. Pertama, sebagai peliput berita. Kedua, sebagai pembantu petugas Palang Merah. Puncaknya adalah peristiwa Bandung Lautan Api," cerita Pandji yang mengisi tas P3K-nya dengan perban, kapas, alkohol, obat antibiotik, obat merah, dan boorsalep, yang semuanya disiapkan dengan dana pribadi.
Penghargaan
Suami dari Trijuani dan ayah lima anak ini telah menerima berbagai macam penghargaan, antara lain Satyalancana Pembangunan dari Presiden RI (1983), Pengusaha Teladan DKI dari Gubernur DKI (1977), International President's Award dari Lions Club International (1989), dan penghargaan dari Menteri Sosial (1999).
Penghargaan itu juga diberikan karena kepeloporannya di industri plastik. Pandji yang pertama kali membuat sikat gigi dari nilon di Indonesia pada tahun 1954. Semula sikat gigi yang ada di pasaran memakai bulu babi sebagai sikatnya. Pandji juga yang pertama kali membuat pipa air plastik, menggantikan pipa besi pada tahun 1963. Namanya pralon. Nama ini akhirnya populer untuk menyebut pipa plastik. Pandji pun mendapat julukan "Bapak Pralon Indonesia". Dia menyumbang pipa pralon secara gratis untuk pembangunan Masjid Istiqlal. Pada tahun 1968, perusahaan pralon ini dia lepas dan diberikan kepada salah seorang sahabatnya.
Di usia yang boleh dibilang lanjut ini Pandji tetap sehat. Flu dan batuk pun jarang hinggap di tubuhnya. Ini karena dia rajin melakukan fitnes. Setiap kali cek kesehatan, hasilnya selalu menggembirakan dan dia tidak pantang makanan apa pun. Kunci dari semua keberhasilannya karena dia selalu memegang pepatah China, tian shang you tian, di atas langit masih ada langit. Pepatah ini bisa diartikan untuk tidak sombong dengan selalu mensyukuri apa yang dimiliki