Aristides Katoppo

Entrepreneurship / 31 July 2008

Kalangan Sendiri

Aristides Katoppo

Fifi Official Writer
6847

Siapa tak kenal tokoh pers yang satu ini. usia 19 tahun ia telah merambah ladang jurnalistik. Memasuki usianya ke-70 tahun guratan semangatnya masih tampak. Itulah sosok aristides katoppo.

Di"buang" ke luar negeri dan disisihkan sama sekali tak membumihanguskan niatnya berkarya di ladang jurnalistik. Media tempatnya berjibaku dibredel, tapi sekali lagi tak cukup ampuh mematahkan asa demi bangkitnya Sinar Harapan. Sosok tinggi berambut putih menghiasi kepala dan janggutnya dengan langkah perlahan menghampiri Bahana. Usai berjabat tangan ia duduk di sofa krem besar, bertanya ramah, "Apa yang bisa saya bantu?" Tapi Bahana tak bisa langsung bertanya, lantaran melihat bahasa tubuhnya yang harus beristirahat beberapa saat. Ia tampak sedikit kelelahan. Maka obrolan santai pun mengalir untuk mengakrabi narasumber siang itu. Dalam hitungan menit usailah senda gurau kami. Topik serius pun bergulir...

Bagaimana ceritanya sampai Anda terjun ke dunia pers?
Saat sekolah saya tidak bisa diam di bangku. Sering bolos. Dikeluarkan dari sekolah, pindah sekolah lain, dikeluarkan lagi. Melihat itu ibu saya mengatakan agar setidaknya saya menamatkan SMA. Jadilah saya selesaikan SMA. Saya pernah bolos demi melihat Tanah Air, mengembara. Naik kapal sebagai penumpang gelap. Akhirnya, teman mengatakan pekerjaan yang cocok untuk saya adalah wartawan. Saya langsung tertarik. Pekerjaan pertama saya mengedit tulisan dari kantor-kantor berita, memilih berita. Saya mengerjakan semuanya dengan cepat sehingga punya waktu luang. Itu saya gunakan sebagai penerjemah. Akhirnya, 1961 bergabung dengan Sinar Harapan.

Liputan pertama Anda apakah mengesankan?
Penggranatan Sekolah Cikini. Saat itu saya tinggal di daerah tersebut. Saya juga sudah diterima sebagai redaktur muda di kantor Berita Pers Biro Indonesia. Rumah saya hanya berjarak beberapa rumah dari Sekolah Cikini. Begitu meledak saya langsung keluar. Banyak warga berlarian, bahkan ada anak sekolah yang saya angkut. Saya telepon kantor dan saya ditugaskan ke lokasi. Walaupun saat itu yang ada dalam kepala saya hanya untuk menyelamatkan korban saja. Ada 5 granat karena saya memang menghitungnya.

Pengalaman apa yang paling berkesan atau paling penting dalam perjalanan karier Anda?
Banyak sekali. Sebagai reporter salah satu peristiwa yang paling mencekam adalah tahun 1966 saat melihat kelaparan di Lombok. Banyak sekali pengemis muncul. Saya datang ke satu desa yang sebagian penduduknya sudah tewas. Menjumpai keluarga terdiri dari anak kecil mungkin yang paling besar 11 tahun, ayah ibunya sudah meninggal. Mereka sangat lemah sampai tidak bisa menguburkan orangtuanya. Lalu saya ke kota, mencari dokter. Mereka harus diobati, tetapi kata dokter, mereka perlu gizi bukan obat. Ironisnya tidak jauh dari tempat itu masih ada gedung bioskop yang ramai dan warung-warung penuh beras.

Bagaimana sampai Sinar Harapan (SH) tutup?
Saat itu ada harian sore, Warta Bakti. Jumlahnya mencapai 75 ribu eksemplar. Tapi, saya cukup berbangga dan bersyukur, dalam waktu beberapa tahun Sinar Harapan (SH) sudah mendekati angka itu. Namun, Oktober 1965, SH mengalami penutupan pertama. Semua koran di Jakarta memang mengalami penutupan. Beberapa hari, karena SH waktu itu dikenal tentara dan bukan komunis, justru dibolehkan terbit. Tahun 1973, Orde Baru, SH ditutup selama satu minggu lebih. Lalu, diberitahu untuk menerbitkan kembali, Saya berhenti dan harus keluar Indonesia kurang lebih lima tahun. Perintah ini tidak tertulis. Tidak sampai lima tahun saya kembali. Saya sempat belajar di Stanford University dan Harvard University sampai tahun 1975.

Bagaimana dengan pembredelan tahun 1986?
Waktu itu saya sudah kembali menjadi wakil pemimpin umum SH. Pemberitaan-pemberitaan SH bagi kami biasa saja, tapi dianggap kritis dan kurang berkenan bagi penguasa saat itu. Salah satunya menjelang devaluasi. SH mengkritik mengapa pemerintah mengatakan ekonomi bagus, tapi negeri ini devaluasi. Devaluasi sama saja merampok duit dari rakyat. Lahirlah Suara Pembaruan (SP). Itu pun awalnya Presiden Soeharto mengatakan tamatlah SH. Tapi akhirnya beliau mengatakan boleh terbit. Tidak boleh memakai nama SH dan pemimpinnya tidak boleh orangorang SH. Belakangan dari orang pemerintahan, ketika kami sudah cukup dekat tahulah saya bahwa sebenarnya saya "dibuang" ke luar negeri untuk menyelamatkan saya karena presiden marah besar saat itu.

Pasca pembredelan langsung berubah nama menjadi SP atau seperti apa?
Dengan SH kita memiliki percetakan, karyawan lengkap di jajaran redaksi maupun iklan sirkulasi, dll. Kita punya gedung. Kemudian membangun PT baru yang juga bekerja sama dengan PT yang menaungi SH. Kami mengusulkan Albert Hasibuan yang jadi pemimpin umum karena Albert aktif di Golkar dan punya akses baik ke pemerintah. Malam hari, saya ditelepon minta 5 nama untuk koran baru itu. Saya menyebutkan nama SH sebanyak lima kali dan lima kali pula ditolak. Saya diminta cari nama lain dan saya berpikir bagaimana agar setidaknya inisial SH tetap ada. Lalu muncul nama Suara Harapan.

Bagaimana kemunculan kembali SH?
Sejak reformasi tahun 1998, pemerintah lewat Habibie menyanggupi SH boleh terbit kembali. Tapi waktu dirundingkan dengan kawan-kawan dikatakan kita sudah cukup lama punya nama Suara Pembaruan sejak 1986. Banyak yang keberatan ganti nama. Pak Roring kecewa. Saat saya masih mengajar di Washington, Amerika, satu kali tengah malam saya ditelepon Pak Roring, masih dengan semangat Pak Roring tetap ingin membangkitkan SH. Saya kembali ke Indonesia untuk berunding. Kalau mau terbit jangan di sinilah, maksudnya tempat yang lama. Jadi, akhirnya kita memulainya di Tanah Abang dengan percetakan di Kompas. Jadi, SH benar-benar mulai dari bayi dan mandiri sampai sekarang.

Pasca pembredelan Sinar Harapan muncul Suara Pembaruan, bagaimana hubungan keduanya sekarang?
Namanya hubungan dengan saudara, ya baik-baik saja. Tapi, sekali lagi, namanya juga antarsaudara kakak beradik juga ada saja pergesekan-pergesekan.

Apakah Anda merasakan secara jelas bahwa Tuhan berperan dalam perjalanan karier Anda? Bagaimana?
Saya mencoba melarikan diri ke mana saja, tapi tetap saja kembali lagi ke sana (wartawan). Orang lain mungkin mengatakan sebagai keberuntungan, tapi saya melihatnya sebagai karunia. Saya berterima kasih kepada Tuhan, pernah tersisih, terhempas, tapi kenyataannya diberikan kekuatan melampauinya. Ini bukan karena deserved, tapi karena memang Tuhan pemurah.

Menjadi salah satu pendiri Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), saat itu apa alasan Anda ikut serta?
Tahun 1970-an saya kira belum ada kata lingkungan hidup. Saya bersyukur dipercaya memasyarakatkan istilah tersebut. Saya memang suka alam terbuka dan mendaki gunung. Setelah kembali dari Amerika saya makin tertarik dengan masalah lingkungan hidup. Akhirnya tulisan-tulisan baik melalui Sinar Harapan, kita juga membuat diskusi-diskusi dengan korankoran lain lahirlah HUKLI (Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup). Itu sebelum ada Walhi.

Nilai-nilai apa yang Anda ingin perjuangkan melalui profesi-profesi tersebut?
Salah satunya saya kira mottonya Sinar Harapan: memperjuangkan kebebasan, keadilan, kebenaran, dan perdamaian berdasarkan kasih.

Bagaimana Anda menghubungkan pekerjaan dengan religiusitas? Apakah keduanya berjalan seiring atau terpisah?
Profesi dan agama tidak bisa dicampur. Kalau panggilannya menjadi dokter, jadilah dokter yang baik. Keyakinan merupakan hubungan pribadi dengan Tuhan. Keimanan itu diukur dari hasil karya. Jangan kita normatif, kita bicara soal agama, tapi hasilnya nggak ada. Perilaku kita tidak seperti apa yang kita katakan. Misalnya kita melayani orang, nggak ada kan bubur Kristen atau bubur bukan Kristen, yang ada bergizi atau tidak bergizi.

Bagaimana Anda mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah Anda raih selama ini?
Kita bersyukur kalau kita masih boleh berkarya, berperan. Walaupun kesehatan juga sudah tidak prima masih tetap berkarya karena banyak orang yang kondisinya tidak sebaik keadaan kita. Syukur itu harus nyata juga dari perilaku kita. Walaupun manusia tak ada yang sempurna.

Apa kenangan yang melekat berkaitan dengan keluarga di masa kecil?
Waktu Perang Dunia, kota Tomohon dibom. Kami berlindung di bawah tanah. Rumah-rumah dibom. Sebelumnya, sekutu sudah menginformasikan agar masyarakat mengungsi. Ayah saya, karena kepala sekolah bisa dianggap pemuka masyarakat, sibuk mengurus pengungsian warga dan lupa dengan keluarganya. Saat itu rumah kami hancur sehingga kami mengungsi ke hutan. Kami benar-benar hidup dari alam. Makan jagung, ubi jalar. Tidak ada piring. Saat itu saya bertugas mencari daun pohon pisang yang kami jadikan piring. Dan, sering kali menjumpai ular di hutan.

Apa harapan ke depan yang masih sedang dikerjakan?
Ketika punya peluang dan kesempatan untuk berperan bagi bangsa, ya lakukanlah. Ini bukan bicara abstrak, ini kenyataan sebagai proses. Mungkin karena didikan orangtua saya tidak pernah bertolak dari tujuan hidup. Ajaran itu adalah bagaimana melayani sesama manusia.

Arti keluarga bagi Anda?
Penting apalagi saya sudah punya cucu. Justru itu tantangan bagi saya sebagai wartawan di tengah kesibukan. Saking asyiknya dengan pekerjaan jangan sampai melupakan keluarga.

Sumber : bahana
Halaman :
1

Ikuti Kami