Untuk mengikuti pola inilah, saya dan teman-teman saya yang telah menikah harus mendorong melewati halangan-halangan hubungan kami. Sementara saya ingin mendekat pada sahabat-sahabat saya, pada saat yang sama saya juga ingin menarik diri dari mereka untuk menghindar dari hal-hal yang tidak saya miliki (pengingat yang menyakitkan): seorang suami, anak-anak, dan lingkungan sosial yang luas. Saya bergumul dengan perang dalam diri saya sendiri antara "aku ingin bersamamu" dan "aku tidak tahan bersamamu". Jadi saya harus secara sadar membuat pilihan-pilihan untuk tidak lari dari teman-teman saya yang telah menikah.
Mereka harus mencari cara bagaimana untuk mencocokkan saya dengan struktur sosial mereka yang berubah-ubah. Beberapa transisi hidup seperti menikah, mempunyai anak pertama, lalu mempunyai anak lagi, menantang dinamika hubungan kami. Dalam setiap transisi, lingkaran sosial teman-teman saya meluas, menyebabkan makin sedikitnya kesempatan bagi kami untuk meluangkan waktu bersama. Jika saya memutuskan untuk menyerah karena tantangan-tantangan itu, saya akan melewatkan banyak hal yang berharga. Saya tidak mempunyai teladan bagaimana untuk menjaga persahabatan antara lajang dan pasangan suami istri, jadi saya harus mencobanya sendiri. Inilah yang saya pelajari tentang bagaimana untuk tetap bersahabat meski status dan kondisi sosial kami berbeda.
Carilah Persamaan-persamaan
Saya tidak menjauh dari teman hanya karena dia menikah dan saya tidak. Saya berfokus pada fakta bahwa kami berdua mengasihi Yesus, suka berkebun, dan menonton film-film lama. Saya sangat menikmati kegiatan alam dan sudah pergi kemping bersama seluruh keluarga. Saya bermain tenis dengan teman-teman saya, baik yang sudah menikah atau tidak. Setiap hubungan mempunyai perbedaan, jadi mengapa perbedaan dalam status pernikahan menjadi lebih berat dibanding perbedaan yang lain? Saya terus berusaha untuk merangkul perbedaan-perbedaan itu, dan menikmati persamaan-persamaan kami yang unik.
Periksa Sikap Anda
Saat saya melihat teman saya dan suaminya sedang berdekatan duduk di sofa, saya bisa memilih untuk meratap membayangkan saya hanya bisa duduk sendirian, atau saya bisa bersukacita karena kokohnya pernikahan mereka. Saat anak teman saya yang berusia 2 tahun berlari ke pelukan saya, saya bisa memilih untuk meratap karena dia bukan anak saya atau menikmati saat-saat menyenangkan itu.
Lakukan Kompromi
Beberapa teman saya adalah ibu rumah tangga. Karena di sore hari mereka sudah sibuk, siang hari adalah waktu terbaik mereka untuk berinteraksi dengan saya. Tapi saya bekerja di siang hari dan ingin berbicara di malam hari. Di akhir pekan, mereka ingin berkumpul di rumah bersama keluarga mereka, sementara saya ingin pergi keluar dan berinteraksi dengan orang-orang. Maka kami mencari solusi dan membuat kompromi. Ada hari-hari dimana saya menelpon mereka saat istirahat makan siang saya, dan ada beberapa akhir pekan dimana mereka mengundang saya untuk menonton film bersama di rumah mereka. Kadang kami "hanya wanita" juga pergi sehingga kami bisa menikmati waktu kami tanpa terganggu anak-anak dan mereka dapat beristirahat sejenak dari tuntutan-tuntutan sebagai ibu.
Jaga Komunikasi Tetap Terbuka
Saya menemukan kebutuhan yang lebih besar untuk komunikasi yang jelas dalam persahabatan lintas status sosial ini. Teman-teman lajang saya, yang banyak memiliki pengalaman yang sama dengan saya, dengan sendirinya mengerti mengapa saya kadang jadi sedikit mellow saat tidak ada seorangpun yang menelpon saya. Sementara teman-teman saya yang sudah menikah, akan memberikan tangan kanan mereka untuk telepon atau suasana rumah yang lebih tenang! Jadi, saya sering harus menjelaskan perbedaan perspektif kami.
Sikap saling terbuka satu sama lain telah membawa kejutan-kejutan yang menyenangkan. Salah satu teman saya sempat tidak percaya bahwa saya sangat bersedia meluangkan waktu bersama anak-anaknya. Jadi saat saya mengajak anak-anaknya jalan-jalan agar dia dapat beristirahat, dia mengira saya hanya bersikap baik dan basa-basi. Saat dia mengerti bahwa saya sangat menikmati waktu bersama anak-anaknya, dia berhenti merasa bersalah dan berbahagia atas kondisi yang sama-sama menyenangkan masing-masing kami. Dan saat teman saya yang lain lagi berkata, "Suamiku ada acara Selasa nanti, jadi aku dan kamu bisa pergi berdua," saya merasa hanya mendapat waktu sisanya. Tapi saat dia menjelaskan bahwa dia memilih untuk menghabiskan salah satu dari waktu bebasnya (yang sangat jarang terjadi) dengan saya, saya segera menyadari bahwa saya tidak mendapat waktu sisa, saya mendapatkan waktu yang berharga.
Pertimbangkan Hal-hal Sensitif
Teman-teman saya tahu keinginan saya untuk menikah dan mempunyai anak. Jadi mereka selalu berbagi cerita dengan saya tentang kehamilan atau perkembangan anak-anak mereka. Dan mereka harus belajar bahwa mengatakan pada saya untuk bersyukur karena saya tidak mengalami pernikahan yang buruk tidak akan dengan cepat membuat saya merasa bahagia karena saya lajang. Sebaliknya, saya juga harus hati-hati agar saya tidak terlalu mengagung-agungkan pernikahan teman-teman saya melebihi realita. Mereka perlu tahu bahwa saya juga tidak berpikir mereka hidup dalam dongeng yang selalu bahagia. Mereka juga perlu mendengar bahwa saya tidak mengharapkan mereka berusaha mengurangi rasa kesepian saya dan saya mendukung keluarga mereka semuanya.
Saya tidak dapat membayangkan bagaimana hidup saya tanpa semua persahabatan ini. Jika saya terus menghindari beberapa pengingat yang menyakitkan dari mereka yang sudah menikah, saya akan kehilangan banyak hal berharga. Karena teman-teman saya bertekun dalam persahabatan kami, anak-anak mereka memperoleh seorang bibi dan pembimbing, dan teman-teman saya mendapatkan seorang teman baik dan pendukung pernikahan mereka. Saya sangat bersyukur karena hubungan saya dengan keluarga-keluarga ini, saya juga jadi lebih dapat berkomunikasi dengan mereka yang sudah menikah di gereja. Saya mengerti tentang dunia pasangan dengan cara yang lebih dalam daripada sekedar teori. Dan mereka juga dapat lebih mengerti tentang dunia lajang jauh di balik semua hal klise dan kesalahpahaman. Hubungan-hubungan ini menggambarkan kebijaksanaan Tuhan seperti yang dikatakan di Mazmur 68:6, "Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara..."
Kita akan semakin kaya karena saling berbagi dalam perbedaan-perbedaan kita. Kita seperti paduan suara yang indah, bukan hanya sekedar suara gitar yang berbunyi dalam ketukan yang sama. Dan Tuhan tersenyum mendengar musik yang kita persembahkan kepadaNya, kepada satu sama lain, dan kepada dunia di sekeliling kita.