Masalah dasarnya adalah ini: sampai saya bertemu dengan seseorang, saya perlu mencari nafkah untuk diri saya sendiri, tapi pekerjaan saya tidak memungkinkan saya untuk mempunyai komunikasi dengan orang-orang baru, dan gereja lokal saya kekurangan jemaat pria. Saya tidak mau pergi ke tempat-tempat dimana kebanyakan pria berada seperti bar dan lainnya, dan saya juga tidak merasa terlalu nyaman untuk menjadi pihak yang mencari (bagaimanapun caranya).
Di gereja saya, orang-orang yang lebih tua sudah mencoba menjadi mak comblang, mereka terlihat kasihan terhadap gadis-gadis yang masih lajang, dan mencoba mendekatkan saya dengan anak laki-laki dan teman-teman mereka. Saya menghargai kepedulian mereka semua, tapi saya berpikir apakah saya harus memberitahu mereka bahwa saya tidak tertarik untuk bertemu dengan pria-pria itu dan saya bahagia menjadi lajang (yah itu memang tidak sepenuhnya benar). Ataukah saya harus memberi kesempatan bagi hubungan dengan pria-pria itu?
Saya sudah bertanya kepada banyak orang tentang masalah ini, tapi setiap orang mempunyai pendapat yang berbeda. Orang tua saya menyarankan saya untuk mencoba beberapa kencan, atau menemukan pekerjaan yang memungkinkan saya bertemu dengan para pria yang menarik untuk saya. Seorang teman mengatakan bahwa yang terbaik adalah membiarkan Tuhan membawa "seseorang" itu kepada saya, dan percaya bahwa hal itu akan terjadi secara "ajaib", saat waktunya tepat. Saya hanya takut saya akan sangat sibuk dengan karir dan hal lainnya, sampai-sampai suatu hari nanti saya tersadar dan menemukan bahwa yang "ajaib" itu tidak pernah terjadi.
Jawaban
Masalah Anda adalah masalah yang banyak dialami wanita, terutama karena budaya saat ini lebih terstruktur, kita menjadi jauh lebih terisolasi, yang menyebabkan kesulitan untuk bertemu dengan orang-orang lainnya. Saya dulu pernah percaya bahwa Tuhan akan secara "ajaib" mempertemukan saya dengan pasangan hidup saya pada waktu yang tepat, dan "kepercayaan" ini banyak diyakini oleh para wanita muda. Itu memang pemikiran yang romantis, dan kadang memang terjadi sesekali, tapi saya yakin bahwa 98% Tuhan bekerja melalui cara-cara dan kejadian-kejadian "normal" seperti misalnya perkenalan di gereja.
Saya tidak akan bertemu dengan suami saya kalau ibu saya tidak pernah menantang asumsi romantis saya tentang pertemuan yang "ajaib". Dulu Sam (suami saya) dan saya berhubungan lewat email beberapa kali, dan saya tahu dia tinggal di Chicago, 2 jam perjalanan dari tempat dimana saya akan kuliah. Tapi saya berpikir, "Tidak, jika Tuhan ingin ini terjadi, kami akan bertemu secara "ajaib" di tempat atau dengan cara yang tidak terduga..." Yah, saya mungkin sudah menonton terlalu banyak film dimana tokoh pria dan wanitanya mengalami kesan khusus atau semacam itu saat mereka pertama kali bertemu. Pertemuan pertama kali yang nyata biasanya lebih terkesan biasa saja dan lebih tenang.
Ibu saya menanggapi pandangan saya dengan seirus dan berkata, "Kamu perlu bertemu dengan Sam." Saya pikir dia sedang menyuruh saya untuk bersikap agresif. Saya merasa terganggu karena itu, tapi (untungnya) akhirnya saya mengikuti sarannya, dan memberitahu Sam lewat email bahwa keluarga saya akan pergi ke Chicago. Kami berdua akhirnya keluar makan malam dan (mengikuti saran ibu saya juga) saya bahkan mengundang dia untuk pergi ke plantarium bersama keluarga saya keesokan harinya.
Tuhan mengharapkan kita untuk menjadi penerima aktif, bukan pasif, dari karuniaNya. Dalam semua area kehidupan, Tuhan bekerja dalam setiap hal melalui kejadian-kejadian yang normal setiap harinya. Dia juga mengundang kita untuk mengambil resiko. Saya akan mengatakan bahwa kadang-kadang Dia menguji kita dengan kesempatan-kesempatan yang beresiko, untuk mengeluarkan kita dari zona nyaman ke tempat yang menjadikan kita lebih membutuhkan dan lebih mempercayai Dia.
Ketika saya masih lajang, saya benci mengambil resiko dalam hal pria, saya tidak mau menyakiti perasaan mereka (ataupun saya), dan saya tidak begitu pandai berkomunikasi. Kedua kalinya saya mengunjungi Sam, yaitu pada ulang tahunnya, dan saya datang dengan membawa hadiah dengan catatan pendek. Saya harus bergumul bahkan untuk resiko sekecil itu, saya tidak mau membuat kenangan apapun dengannya jika kami tidak bersama nantinya. Itu adalah perfeksionisme tentang hubungan yang menahan saya. Saya kuatir itu adalah tindakan yang terlalu berlebihan dan terlalu langsung. Seharusnya saya tidak se-paranoid itu. Saat saya melihatnya kembali, sebenarnya tindakan itu tidak terlalu berlebihan, dan saya senang saya melakukannya.
Saya pikir waktu yang kita habiskan untuk menjajaki kemungkinan-kemungkinan itu layak. Jangan kuatir jika beberapa di antaranya tidak "berhasil", itu tidak berarti Anda maupun orang itu gagal. Itu hanya membuktikan fakta bahwa kesepadanan membutuhkan waktu untuk ditemukan dan dibentuk. Tapi itulah yang menjadi alasan mengapa kita perlu terbuka secara aktif.
Memang sulit untuk melakukan kencan yang sudah diatur jika Anda tidak mempunyai temperamen extrovert, atau jika Anda merasa tidak "cukup cantik" atau kurang percaya diri. Tapi semua itu hanya perasaan, bukan kebenaran. Seringkali, rasa takut bukanlah motivasi yang baik untuk tindakan apapun, atau untuk tidak melakukan apapun. Takut gagal, takut akan penolakan, takut "mencampuri jalan Tuhan" dengan berkencan dengan seseorang yang mungkin adalah suami masa depan wanita lain... Semua itu perlu dirasakan, diproses, tapi yang terutama perlu diatasi. Jangan takut, nikmati setiap kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan walaupun nantinya tidak ada romantisme yang tumbuh, dan pertimbangkanlah itu sebagai kesempatan untuk memberkati orang lain dengan kehadiran Anda.
Sumber : boundless