Roger sadar dirinya menderita penyakit Alzheimer dan ingatannya bakal hilang. Ia takut kelak tak bisa mengenali istri dan anaknya lagi sehingga ia menulis di catatan hariannya demikian: "Sayang, akan tiba harinya aku lupa segalanya. Tidak mengenalimu dan anak-anak, meski kalian di dekatku. Saat itu terjadi, maafkan aku! Ingatlah, aku sangat mengasihimu."
Esoknya, sang istri membaca tulisan suaminya sambil menangis. Ia menulis di bawahnya: "Sayang, jika semua itu terjadi, aku akan tetap merawatmu. Engkau telah melamarku dan setia di sampingku puluhan tahun. Aku mengasihimu bukan karena engkau mengingatku, tetapi karena aku mengingatmu."
Betapa indahnya pasangan yang saling memberi dorongan semangat. Dengan kata-kata penuh kasih, mereka ‘bertolong-tolongan menanggung beban' (Galatia 6:2). Sayangnya, banyak orang lebih suka meluncurkan kritik yang melumpuhkan. Padahal menurut Paulus, sekalipun kekasih kita melakukan pelanggaran, kita tak perlu melukainya dengan kata-kata kasar. Ia perlu dipimpin kembali ‘dalam roh lemah lembut' (ayat 1). Mengapa? Karena dengan bertindak kasar, kita menempatkan diri seolah-olah lebih baik, lebih berarti. Kita jatuh dalam kesombongan. Kritik pedas itu pun menghancurkan! Hanya kata-kata penuh kasih yang bisa memulihkan.
Orang-orang di sekitar kita sangat memerlukan kata-kata pendorong semangat. Sudahkah kita memberikannya? Apakah yang memenuhi mulut kita; pujian atau makian? Kata-kata penuh kasih atau kritik? Mari kita gunakan lidah kita untuk menguatkan seseorang hari ini. Jika Anda ingin diingat orang, belajarlah mengingat kebaikannya.