Kita hidup di zaman di mana kata-kata tidak bermakna sama seperti dulu. Namun bahasa kita telah dicemari begitu lama sehingga kita bahkan tidak menyadarinya. Apa yang dulu disebut ‘membunuh janin' sekarang disebut ‘pilihan'. Apa yang dulu dikenal sebagai ‘hidup dalam dosa' sekarang disebut ‘hubungan penuh arti'. Apa yang dulu disebut ‘hubungan seksual' sekarang disebut ‘sikap tidak pantas'.
Bagaimana mungkin kita menjadi sekacau ini? Kapan kita mulai membalikkan makna kata-kata?
Kita perlu menegaskan kembali makna sesungguhnya dari kata-kata karena kata-kata memang bermakna sesuatu. Pemantangan nafsu seharusnya tidak menjadi frase yang menyebabkan para remaja yang senang mengunyah permen karet menyeringai. Kesetiaan dalam pernikahan seharusnya tidak dianggap kata peninggalan zaman Victoria - justru seharusnya itu dijunjung tinggi sebagai tujuan yang luhur.
Pikirkan saja: Kalau para politisi bisa dikelilingi oleh para jubir politik, kenapa kita tidak bisa dikelilingi Firman TUHAN? Saya mendapati dengan kita terus-menerus membaca Amsal, itu merupakan cara yang dahsyat untuk tetap berpegangan pada makna yang sesungguhnya dari kata-kata. Apa yang lebih terus terang dan tepat sasaran ketimbang menyimak apa yang ingin Allah katakan? Perhatikan contoh-contoh ini:
Ini adalah pernyataan-pernyataan langsung, bukan? Tidak ada dalih dan tidak ada pembalikan makna. Kapan pun Anda merasa dunia telah mencemari makna sederhana dari kata-kata, berpalinglah kembali pada firmanNya yang nyata. Kita bisa percaya diri bahwa ketika Alkitab memberitahu kita bahwa TUHAN tetap sama baik kemarin, hari ini, dan besok, itu artinya IA tak pernah berubah. Dia sudah menjanjikan itu pada kita.