Hidup Dengan Bunuh Diri

Kata Alkitab / 22 November 2005

Kalangan Sendiri

Hidup Dengan Bunuh Diri

Admin Spiritual Official Writer
6731

"Adikmu meninggal". Istri saya baru dapat mengeluarkan kata-kata berikutnya, "Dia mengambil senjata api dan menembak kepalanya sendiri".

Tubuh Paul yang tidak bernyawa tergeletak di lantai dingin apartemen paling tidak selama satu minggu sebelum akhirnya seseorang menemukan dirinya. Beberapa pertanyaan terlintas dalam benak saya. Mengapa? Tidak adakah orang disana yang berbicara dengannya? Dan bagaimana tidak seorangpun pernah mengingat jika dia telah pergi hampir delapan hari sebelumnya?

Saya dapat merasakan perasaan bersalah itu datang merampas saya. Jika saja saya mencoba untuk mengenal dia. Jika saja saya dapat menasehati dia dan menjamin dirinya bahwa kehidupan ini adalah sesuatu yang layak untuk dijalani. Namun kenyataannya adalah saya tidak mengenal dia. Saya punya foto bagaimana dirinya bertumbuh, namun dalam berbagai kesempatan, kami tidak pernah bertemu dan berbicara.

Saya adalah anak tertua dari tujuh bersaudara. Ibu kandung kami tidak berusaha untuk mengasuh kami, sehingga saya sendiri ditaruh dalam keluarga adopsi sebelum Paul lahir. Seorang suami alkoholik dan empat anak berikutnya, Paul diantarkan ke dunia ini. Ayahnya adalah pecandu obat dan alkohol yang membawa keluarganya menjadi gelandangan, meninggalkan saudara saya laki-laki dan perempuan - David (9 thn), Sharon (7 thn), Mark (5 thn) dan Paul (2 thn) berkelana di jalanan dan mengemis untuk mendapat makanan. Ketika seorang pendeta gereja memberi ayah mereka uang untuk membeli makan malam untuk anak-anak, pendeta itu mengikuti mereka dan menemukan bahwa ayah mereka menggunakan uang itu untuk konsumsi kecanduannya. Dia hanya membeli satu hamburger dan membuat keempat anaknya harus membaginya.

Kelihatannya keadaan tidak dapat lebih buruk lagi bagi keempat anak ini. Bagaimanapun, setelah pertolongan itu, sang pendeta mengingatkan suatu departmen penanganan anak dan keluarga, dan keempat saudara kandung saya itu dapat diambil dari orang tuanya dan ditempatkan di rumah adopsi. Anak-anak itu kemudian dipecahkan di berbagai rumah yang berbeda dan pergi dari satu keluarga angkat ke keluarga angkat lainnya dimana kekerasan fisik, verbal dan mental menjadi pengalaman yang normal bagi mereka. Pada hari libur, nenek saya menerima foto anak-anak dengan mata lebam dan penuh memar. Ketika pihak berwenang menggerebek rumah adopsi atas tuduhan kekerasan, mereka menemukan saudara saya terantai di kloset dengan rantai anjing disekeliling lehernya.

Kembali, keluarga melanjutkan kebiasaan kekerasan ini dari satu rumah adopsi ke rumah adopsi lainnya, sampai presiden Ronald Reagan waktu itu berencana untuk meningkatkan anggaran untuk masalah adopsi dengan memberi insentif keuangan, membuat munculnya banyak orang jahat yang menjual tujuan perawatan anak untuk meningkatkan pendapatan mereka. Bagaimanapun, lewat kesulitan dan kekerasan sebagian besar dari saudara kandung saya ini akhirnya bersatu kembali bertahun-tahun kemudian setelah sepasang suami istri dari New Jersey berjanji untuk mengadopsi mereka.

Ibu kandung kami bertekad untuk menjadi seorang jenius gila di perbatasan. Kebanyakan dari kami lahir dengan beberapa kemampuan inteligensi dan artistik seperti yang dimilikinya. Sedang Paul memiliki kecerdasan mental yang lebih lambat yang diduga karena ayahnya adalah pengguna narkoba. Saya berumur 8 tahun lebih tua dari Paul dan meski saya telah berbicara dengan semua saudara laki-laki dan perempuan yang lain (termasuk dua orang lainnya setelah Paul), Paul dan saya belum pernah bertemu dan berbicara sama sekali. Dia adalah saudara kandung yang masih bayi dimana saudara-saudaranya, David, Sharon dan Mark amat melindunginya. Paul hidup di dunianya sendiri. Dia tidak mengerti banyak hal, tapi dia tahu bahwa saudara-saudaranya mencintai amat dirinya.

Jadi mengapa? Mengapa dia menembak dirinya sendiri? Dia telah selamat dari serangkaian kekerasan di masa kanak-kanak, dan baru saja menyeberang dari ambang pintu menuju kedewasaan, meningkat kearah kehidupan yang lebih baik. Pertanyaan melayang-layang di memori saya tentang memori pengalaman masa kecil saya beserta usaha bunuh diri.

Itu lima belas tahun yang lalu dan saya menemukan diri saya seorang diri, sangat kesepian. Saya mengingat sedang bermain permainan Pink Floyd The Wall, seperti lagu terakhir "Goodbye Cruel World" yang mungkin menjadi lagu keramat saya, sebelum mengambil sebilah pisau dan mulai mengiris pergelangan tangan. Ini bukanlah yang pertama kalinya. Bagaimanapun, itu adalah usaha bunuh diri pertama yang membuat saya dibawa ke rumah sakit.

Saya mengingat tersedu-sedu di ruangan saya. Perasaan tidak aman mungkin menyebabkan saya melekat pada siapapun yang memberikan keseimbangan. Nenek saya, wanita positif satu-satunya yang menjadi teladan hidup saya baru saja berpulang. Orang tua angkat berjuang banyak, pekerjaan ayah saya dan kebiasaan keluar malam untuk minum-minum membuat saya merasakan tidak aman. Seringkali ibu saya keluar dengan teman-temannya meninggalkan saya dengan banyak waktu untuk merenung.

Saya melihat dunia diisi dengan banyak pertentangan, kebencian, kemarahan, kebohongan, kematian dan kekerasan. Sebagai seorang artlit, saya seringkali menjadi target untuk memperoleh medali sepakbola di sekolah menangah atas. Saya sangat populer di sekolah, namun bagaimanapun semuanya terasa dangkal dan saya merasa amat kesepian dan kosong. Saya mungkin membaca Alkitab dan bermimpi pergi ke Surga seperti yang dijelaskan pada saya - suatu tempat yang dipenuhi kasih Tuhan dan kedamaian, suatu tempat dimana setiap orang akan berumur panjang. Saya mengingat memohon pada Tuhan sekali dan sekali lagi untuk mengambil hidup saya dan membawa saya ke surga. Setelah banyak jahitan mental dan kunjungan psikologis selanjutnya, saya memutuskan untuk melalui badai dan menghentikan usaha bunuh diri saya.

Dalam transformasi yang ajaib, Yesus muncul pada saya dalam mimpi di satu malam. Dalam mimpi itu, saya sedang duduk di pantai dan Dia berjalan diatas air memakai jubah berwarna anggur dengan malaikat berjalan di depannya. Dia muncul hingga menjadi tujuh kisah dalam mimpi itu. Dia melihat langsung kearah saya dan melambai. Matanya menusuk diri saya. Saya dapat merasakan kasihnya merasuk ke hati dan jiwa saya, mengalir dalam saya bagaikan gelombang. Ketika mata kami terhubung, itu adalah saat dimana akhirnya saya mengerti tentang kasih Tuhan. Itu begitu instant bahwa saya menyadari bahwa Tuhan punya tujuan dalam kehidupan saya. Secepat kilat, saya bersimpuh untuk menyembah Dia, dan dalam detik berikutnya, mimpi itu lenyap dan saya menemukan diri saya di atas ranjang, menangis tersedu-sedu seperti layaknya seorang bayi.

Saya berpikir kehidupan saya ada dalam kesalahan selama bertahun-tahun. Tapi Tuhan tidak pernah membuat kesalahan. Dia punya rencana dan tujuan bagi hidup saya. Jika tidak seorangpun mengasihi saya, Tuhan tetap mengasihi saya. Tuhan Yesus amat mengasihi saya sehingga ia mau menerima paku di tanganNya dan menerima kematian di kayu salib untuk saya. Bahkan Dia bersedia memakai saya dalam berbagai pelayanan untuk menyentuh hidup di tahun-tahun kedepan (termasuk memimpin pelayanan gelandangan dimana Paul pernah sekali menjadi seorang tunawisma sewaktu kecilnya), itu bukanlah bakat saya atau pekerjaan saya untuk menarik Tuhan. PerhatianNya ada dan itu untuk saya. Dia tertarik pada hubungan dengan saya. Dia amat memberkati hidup saya dan tahun-tahun yang menyertai keselamatan yang saya terima. Saya tidak punya pikiran betapa indahnya itu bisa terjadi. Dan sedihnya, jika usaha bunuh diri saya sukses, saya mungkin tidak pernah tahu atau mengalami berkat-berkat tersebut.

Yesus amat mengasihi Paul juga. Tuhan punya tujuan untuk kehidupan Paul. Hanya sayangnya Paul tidak pernah menemukan itu. Saya ingin tahu jika seseorang mengatakan pada Paul tentang kasih Tuhan, atau tentang keselamatan dan anugerah? Saya datang untuk menyadari bahwa selama waktu-waktu kesepian yang mengerikan dalam kehidupan saya, Tuhan ada disana, memegang saya dalam kegelapan. Ketika hati saya tercabik-cabik, demikian juga dengan diriNya. Hati Tuhan tercabik untuk Paul, dan untuk orang lainnya yang ada dalam ciptaanNya yang berpikir bahwa yang namanya hidup bukanlah sesuatu yang layak untuk dijalani.

Sumber : Sumber: Matthew Eldridge - Relevant Mag - CBN
Halaman :
1

Ikuti Kami