Ayah Kandungku Ditembak Mati Ayah Tiriku Di Depan Mataku

Family / 3 December 2013

Kalangan Sendiri

Ayah Kandungku Ditembak Mati Ayah Tiriku Di Depan Mataku

Lestari99 Official Writer
13386

Deborah Finley tumbuh besar di dunia yang terbilang sepi tanpa hiruk pikuk keluarga bahagia. Hidup yang dijalaninya justru dipenuhi dengan ketakutan dan kekerasan. Ayah Deborah pergi meninggalkannya ketika ia baru berusia 3 tahun.

“Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana ayah saya pergi dengan membawa koper pada kedua belah tangannya. Lalu saya berlari kepada ibu dan bertanya kemana ayah akan pergi. Dan ibu hanya berkata bahwa ayah akan pergi jauh dan tidak akan kembali lagi,” kenang Deborah mengingat hari kepergian ayahnya yang masih tergambar jelas di ingatannya.

Orangtua Deborah pada akhirnya bercerai. Setahun kemudian, ibu Deborah bertemu dan menikah dengan pria lain yang menjadi ayah tirinya.

“Awalnya dia seperti seorang yang baik. Sayangnya sejalan dengan waktu, situasi berubah menjadi seperti Jekyll dan Hyde (film terkenal Amerika yang menceritakan bagaimana seorang pria bisa menjadi seorang yang baik sekaligus begitu kejam, red.). Menjadi suatu hal yang biasa untuk mendengar suara ibu yang menangis ketika hendak pergi tidur, mendengar suaranya memohon dengan sangat dari kamar sebelah agar tidak dianiaya. Dan sudah jadi hal yang biasa pula ketika bangun di pagi hari, darah dan pecahan kaca ada di mana-mana. Sebab ayah tiri saya telah mengamuk dengan begitu bengisnya saat ia sedang mabuk,” ungkap Deborah menceritakan masa-masa kelam yang dialaminya bersama sang ayah tiri.

Deborah begitu merasa tidak berdaya untuk melawan kemarahan ayah tirinya. Deborah terus merasakan ketakutan dan tertekan setiap saat, tanpa harapan. Deborah merasa ia hanya bisa menerima apa yang terjadi atas ibu dan keluarganya tanpa dapat melakukan apapun untuk memperbaiki situasi yang ada.

Saat Deborah menginjak usia 11 tahun, ibunya kembali bercerai dengan ayah tirinya, Gene. Namun empat tahun kemudian mereka menikah kembali.

“Saya sungguh merasakan damai ketika ayah tiri saya tidak ada. Dan sayangnya, ternyata dia tidak berubah. Sehingga semua ketakutan dan kekerasan yang sama kembali terulang. Rasanya seperti berjalan di atas kulit telur, kesalahan kecil bisa membuatnya mengamuk. Dan ada sesuatu yang berbeda terjadi pada ibu saya. Ibu selalu menghindar untuk berada di rumah,” ujar Deborah.

Saat ibunya sedang tidak berada di rumah, Deborah yang baru berusia 15 tahun menjadi sasaran dari serangan Gene.

“Suatu hari ayah tiri saya pulang dalam keadaan mabuk. Waktu itu hari Senin pagi dan ibu sedang pergi. Ayah tiri saya kemudian mulai berteriak-teriak dan saya bangkit dari meja dengan memegang segelas susu. Lalu dia membanting gelas itu dari tangan saya dan meninju mulut saya,” kisah Deborah menceritakan salah satu moment menakutkan yang terjadi dalam hidupnya.

Deborah pun langsung lari ke rumah kakeknya dan menghubungi polisi. Gene, ayah tirinya, ditangkap tapi segera dibebaskan.

“Saya merasa sangat capek hidup di dalam ketakutan dan di tengah kekerasan, sehingga saya pun menghubungi ayah kandung saya,” ujar Deborah.

Ayah kandung Deborah ternyata memiliki kenalan mafia dan dia mengutus seseorang untuk membunuh Gene.

“45 menit setelah saya menelepon, bel pintu depan berbunyi. Ayah tiri saya berjalan ke pintu dan tiba-tiba saja saya mendengar suara rentetan tembakan. Kayu-kayu penyangga rumah beterbangan ke mana-mana. Ya, seseorang telah datang dan menembak melalui pintu. Setelah kejadian itu, tentu saja ayah tiri saya menghubungi polisi. Sungguh sebuah keajaiban tak seorang pun yang tertembak karena peluru bertebaran di seantero ruangan,” ungkap Deborah.

Ayah Deborah kemudian dituduh terlibat dalam penembakan itu. Malam hari sebelum sidang dijalankan, Deborah diam-diam menemui ayahnya.

“Saya dan ayah sedang duduk di bangku, dan kami mampir setelah makan malam bersama. Pintu tiba-tiba terbuka dan itu ternyata ayah tiri saya dengan senjata di tangannya. Saya pun melompat dan berteriak, ‘Jangan!’ Dan ayah tiri saya hanya berdiri beberapa meter dari ayah saya dan dia menembaki ayah saya tepat di jantungnya yang membuat ayah saya tewas di tempat. Saya merasa terguncang dan mulai berteriak dan saya berlari menuruni tangga. Ayah tiri saya berlari menuju satu arah dan saya ke arah lainnya,” ungkap Deborah mengenang kejadian paling mengerikan yang terjadi dalam hidupnya.

Gene dinyatakan bersalah atas pembunuhan yang tidak direncanakan dan menjalani hukuman penjara. Namun Deborah tetap hidup dalam ketakutan dan kebingungan yang tak berujung.

“Saya sungguh meragukan keberadaan Tuhan karena saya pikir Tuhan membuat hal-hal buruk terus terjadi dalam hidup saya dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya juga berpikir bahwa Tuhan adalah Tuhan yang kejam,” ujar Deborah mengungkapkan kegetiran hatinya.

Deborah kemudian menikah di usia 17 tahun. Namun suaminya sekalipun, Kirk, tidak dapat menghilangkan rasa takut yang terus dirasakan Deborah.

“Saya menjadi bahan penganiayaan. Saya benar-benar merasa tertekan sehingga tidak bisa tidur di malam hari,” ungkap Deborah.

Suatu malam setelah Kirk tertidur, Deborah menyelinap keluar kamar dan mengisap ganja lalu menangis sendirian hingga tertidur. Sebuah acara televisi menarik perhatiannya.

“Saya mendengar seseorang di televisi berkata bahwa Yesus adalah penyembuh bagi hati yang terluka. Dan jika engkau meminta Tuhan untuk menolongmu di manapun engkau berada, engkau dapat mengucapkan doa ini. Saya pun mengucapkan doa itu dan meminta Yesus untuk mengampuni saya dan masuk ke dalam hati saya. Sesuatu yang luar biasa terjadi, saya sungguh merasakan beban berat yang selama ini saya tanggung diangkat dari hidup saya dan saya merasa begitu berbeda. Dan setelah hari itu semakin luar biasa karena saya bisa merasakan kedamaian,” ujar Deborah menceritakan titik balik yang menjadi awal pemulihannya.

Deborah mulai pergi ke gereja dan membaca Alkitab. Sejak saat itulah Deborah mulai mengetahui dan menyadari bahwa Tuhan bukanlah penulis kisah hidup yang buruk tapi akan selalu menolong dirinya untuk melewati hal itu. Seiring pertumbuhan iman Deborah, ia tahu ada sesuatu yang HARUS ia lakukan, mengampuni ayah tirinya.

“Saat pikiran saya terarah pada ayah tiri saya, saya hanya bisa bilang saya tidak bisa mengampuninya. Suatu hal yang mustahil saya bisa mengampuninya. Meskipun saya tahu bahwa Tuhan berkata kita harus mengampuni agar diampuni, tetap saja saya tidak dapat melakukan hal itu. Saya tahu saya tidak memiliki kekuatan untuk mengampuni. Lalu saya pun menemukan bahwa Tuhanlah kekuatan kita,” ungkap Deborah.

Setelah mendapatkan pemahaman itu, Deborah tidak hanya mampu mengampuni Gene, tapi ia juga membimbing ayah tirinya untuk datang pada Yesus.

“Kami bergandengan tangan dan kami berdoa. Dan dengan tulus ayah tiri saya meminta Yesus untuk mengampuni dosa-dosanya dan masuk ke dalam hatinya. Kejadian itu sungguh sangat membebaskan saya. Saya bahkan tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan betapa melegakannya hal itu. Saat ini saya terus meneteskan air mata sukacita dibandingkan hal lain yang saya alami,” ujar Deborah sambil meneteskan air mata kebahagiaan menutup kesaksiannya. 


Sumber Kesaksian:
Deborah Finley
Sumber : V111219091507
Halaman :
1

Ikuti Kami