Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melalui Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada Badan Legislasi (Baleg), telah memutuskan untuk menolak melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang mengatur syarat usia minimum calon kepala daerah. Keputusan ini diambil dalam rapat pada Rabu, 21 Agustus 2024, yang berjalan singkat dan menimbulkan kontroversi.
Putusan MK menetapkan bahwa usia minimum calon kepala daerah harus dihitung saat penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, DPR memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengatur bahwa usia minimum dihitung sejak tanggal pelantikan kepala daerah.
Keputusan ini dianggap kontroversial karena:
Secara hierarkis, putusan MK dianggap lebih tinggi karena menguji konstitusionalitas Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945. Sementara itu, putusan MA hanya menguji peraturan KPU terhadap UU Pilkada. Dengan demikian, seharusnya putusan MK yang diutamakan.
Ada anggapan bahwa keputusan DPR untuk mengikuti putusan MA dipengaruhi oleh pertimbangan politik. Misalnya, keputusan ini membuka peluang bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam Pilkada 2024. Jika menggunakan putusan MK, Kaesang yang berusia 29 tahun pada saat penetapan calon, tidak memenuhi syarat. Namun, dengan mengikuti putusan MA, ia akan memenuhi syarat karena usia 30 tahun dicapainya pada Desember 2024, sebelum pelantikan kepala daerah.
Mayoritas fraksi di DPR, kecuali PDI-P, menganggap bahwa mereka bebas memilih antara putusan MK atau MA sebagai opsi yang dapat diadopsi dalam revisi UU Pilkada. Fraksi PDI-P, melalui perwakilannya Putra Nababan dan Arteria Dahlan, menyatakan bahwa seharusnya Baleg DPR mematuhi putusan MK, mengingat kedudukan hukumnya yang lebih tinggi.
MK, melalui Wakil Ketua Saldi Isra, menegaskan bahwa persyaratan usia minimum calon kepala daerah harus dihitung pada saat penetapan calon oleh KPU. Saldi memperingatkan bahwa calon kepala daerah yang proses pencalonannya tidak sesuai dengan putusan MK berpotensi didiskualifikasi jika digugat ke MK sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Hal ini berarti, penyelenggara pemilu yang tidak mengikuti putusan MK bisa menghadapi konsekuensi hukum yang serius.
Keputusan DPR untuk mengabaikan putusan MK dan memilih mengikuti putusan MA dalam revisi UU Pilkada menimbulkan kontroversi hukum dan politik. Sementara mayoritas fraksi di DPR merasa bebas memilih opsi hukum, PDI-P dan MK menegaskan pentingnya mematuhi hierarki hukum yang ada. Situasi ini membuka peluang bagi calon tertentu, tetapi juga berisiko menimbulkan sengketa hukum di kemudian hari.
Sebagai umat Kristen, kita diajak untuk merespons kontroversi ini dengan bijaksana dan tidak ikut terprovokasi oleh berbagai opini atau kepentingan politik yang berkembang. Dalam menghadapi situasi ini, penting bagi kita untuk berdoa bagi para pemimpin dan proses pengambilan keputusan yang mereka lakukan, agar mereka dapat bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.
BACA JUGA:
Ini Isi Putusan MK Yang Picu Gerakan #KawalPutusanMK dan #PeringatanDarurat
#PeringatanDarurat: Berdoa Untuk Indonesia Ditengah Gejolak Politik Jelang Pilkada
Sumber : Berbagai Sumber | Puji Astuti