Pernahkah Anda merasa kecewa oleh seseorang yang Anda percayai? Atau mungkin Anda pernah dikhianati oleh seseorang yang paling dekat dengan Anda? Kemudian karena peristiwa tersebut, hubungan Anda dengan orang itu menjadi retak dan tidak bisa kembali seperti sebelumnya?
Saya pikir hampir setiap orang pasti pernah mengalaminya. Mungkin peristiwa yang kita alami berbeda-benda, tetapi rasa sakit dari kecewa itu pasti hinggap di tempat yang sama, di hati kita.
Sebagian orang berusaha untuk tetap terlihat kuat padahal rapuh di dalam, sebagian lainnya berusaha menghindar dan menjauh dari persoalan yang dapat menyakiti hatinya. Yang paling ekstrim, ada juga orang yang sampai memutuskan untuk pergi dan pindah ke lingkungan yang baru untuk mengobati lukanya.
BACA JUGA: Kasih Tidak Menyimpan Kesalahan Orang Lain, Apa Maksudnya?
Meski demikian, jujur saya, kita tetap tidak bisa menyangkal bahwa hati kita saat ini sedang terluka. Ada banyak pilihan yang bisa kita lakukan saat emosi dan perasaan kita lebih dominan daripada akal sehat kita, dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut.
Saat dikecewakan, kita cenderung menyalahkan dan menghakimi orang yang telah menyakiti kita dan menempatkan diri kita sebagai “korban” yang mau tidak mau harus menanggung semuanya. Kendati demikian, terkadang kita memang menjadi korban. Namun, dengan memposisikan diri kita sebagai korban, artinya kita menganggap diri kita adalah pihak yang paling benar dan melimpahkan kesalahan sepenuhnya kepada orang yang kita anggap sebagai “pelaku”. Kita berpikir bahwa kita tidak terlibat sama sekali dalam peristiwa menyakitkan tersebut.
Mari kita berbicara tentang hubungan. Dalam sebuah hubungan, baik itu hubungan teman, sahabat, keluarga, atau pasangan, semuanya selalu melibatkan dua pihak atau lebih. Maka, ketika sesuatu terjadi dalam hubungan tersebut, artinya tidak ada pihak yang sepenuhnya benar, dan tidak ada pihak yang sepenuhnya salah. Kedua pihak dalam hubungan tersebut pasti saling berkaitan dengan alasan dari peristiwa yang membuat hubungan tersebut menjadi hancur. Termasuk dengan sikap pasif yang dilakukan oleh salah satu pihak.
BACA JUGA: 5 Langkah Cara Mengampuni Diri Sendiri dan Orang Lain
Saat saya menghakimi dan menyalahkan orang yang telah menyakiti saya, Tuhan menegur saya melalui Firmannya dari Roma 2:1, “Karena itu, hai manusia, siapa pun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.”
Melalui ayat ini, Tuhan mengingatkan bahwa Dialah Hakim yang memiliki wewenang untuk menilai dan menghakimi orang lain, bukan kita. Pada dasarnya kita hanyalah manusia yang juga bisa melakukan kesalahan seperti orang lain.
Ketika kita merasakan sakit hati dan kecewa, sering kali kita sulit untuk benar-benar “memaafkan dan melupakan.”
Kita mungkin menyadari kebenaran di balik makna kata-kata tersebut, tetapi sangat berat untuk dilakukan. Banyak orang mengatakan, “Waktu akan menyembuhkan.” Memang benar bahwa setiap proses membutuhkan waktu, tetapi yang sebenarnya menyembuhkan dan memulihkan hati kita hingga kita dapat benar-benar memaafkan dan melupakan, bukanlah waktu, melainkan Tuhan. Hanya Dia yang tahu dan memahami segala yang kita alami, karena Dia sendiri telah mengalami hal itu, bahkan lebih berat dari yang kita rasakan.
BACA JUGA: 3 Kisah Pengampunan Ekstrem di Alkitab Perjanjian Lama
Apabila Anda bertanya apakah saya menyesali mengalami masa kekecewaan dan sakit hati, jawaban saya adalah “tidak”. Karena melalui pengalaman tersebut, saya belajar banyak hal tentang hubungan, karakter, dan menjadi lebih bijaksana. Meskipun banyak orang mengatakan “Pengalaman adalah guru yang berharga”, sebenarnya pengalaman hanyalah sarana yang digunakan Tuhan untuk mengajar dan memperkuat kita.
Tuhan selalu memiliki maksud dan tujuan yang jelas dalam setiap peristiwa yang Dia ijinkan kita alami dalam hidup ini, sebagaimana yang dinyatakan dalam Roma 8:28, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”
Pada intinya, setiap individu bertanggung jawab atas kata-kata dan tindakan mereka. Mungkin tindakan seseorang bisa mempengaruhi pikiran atau perilaku negatif kita, tetapi keputusan untuk merespons dengan sikap positif atau negatif sepenuhnya ada di tangan kita.
Jika Anda telah melewati masa-masa sulit, Anda akan melihat ke belakang dan merasa bersyukur atas pengalaman tersebut, karena pengalaman tersebutlah yang membantu Anda menjadi seperti sekarang ini.
BACA JUGA: Kapan Waktu yang Tepat Untuk Mengampuni?
Lebih dari itu, pengalaman itu mengingatkan kita bahwa apa pun yang kita alami, dalam situasi dan perubahan apapun yang harus kita hadapi, ada satu hal yang tetap konstan, yaitu kesetiaan Tuhan yang tidak pernah berubah dan Dia selalu menyertai kita setiap saat. Dan tidak ada berkat yang lebih besar daripada menyadari bahwa Tuhan selalu mencintai dan menyertai kita, bukan?
Apakah Anda diberkati dengan artikel ini dan rindu agar orang lain ikut diberkati? Mari bersama-sama dengan kami terus menghasilkan konten-konten inspiratif dengan terus mendukung pelayanan kami dengan klik link di bawah.
Sumber : fyfy – cbni