Berdasarkan perjalanan sejarah, sebuah kota atau negara dikelilingi oleh tembok-tembok besar untuk beragam tujuan, diantaranya:
- Sebagai penanda batas wilayah dan
- Sebagai tembok perlindungan bagi suatu wilayah atau negara dari tindakan penyusupan
Kita bisa menyaksikan beberapa diantaranya seperti tembok besar China, Hadrian’s Wall di Inggris dan Tembok Berlin di Jerman.
Di jaman Yesus sendiri juga terdapat satu tembok besar yang dibangun dan menjadi terkenal sampai sekarang yaitu Tembok Barat Yerusalem atau disebut juga dengan Tembok Ratapan yang membatasi Bait Suci. Berabad-abad lamanya, orang Yahudi berkumpul di sana untuk meratapi hilangnya Bait Suci mereka yang dihancurkan oleh orang-orang Romawi sekitar empat puluh tahun sebelum kematian Yesus.
Hari ini, kita bukan hanya sekadar membangun tembok sebagai pembatas kota atau negara. Tapi kita membangun tembok-tembok di dalam diri kita sendiri. Tembok-tembok ini kita bangun di atas kondisi emosi, fisik dan juga rohani kita.
Baca Juga:
Iman Tidak Menunggu, Hancurkan Tembokmu Sekarang Juga!
Tembok-tembok ini akhirnya menjadi dinding pembatas yang membuat manusia terpisah satu sama lain. Dengan dinding ini manusia kadang berperan sebagai hakim atas sesamanya. Dan orang lain yang dianggap berbeda dengannya dipandang sebelah mata dan diperlakukan secara tidak adil. Kadang pula manusia menganggap dirinya sebagai korban sehingga dia menutup dirinya dari dunia luar. Hal ini membuatnya perlahan-lahan menjadi egois dan abai dengan orang lain.
Tembok hanya membuat kita terbagi dan menjadi simbol stigmatisasi yang memunculkan perbedaan mencolok antara dua hal atau benda. Sementara sebagai orang percaya, kita tahu kalau di mata Tuhan manusia itu sama dan masing-masing punya keunikannya sendiri. Tak seorang pun yang bisa menganggap dirinya kudus dan lebih benar dari orang lain.
“Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.” (Roma 3: 10)
Harusnya tak ada alasan bagi kita untuk membatasi diri dengan menganggap diri kita lebih baik dari orang lain. Atau sebaliknya mengisolasi diri karena menganggap diri jauh lebih buruk dari orang lain.
Meruntuhkan tembok dalam diri kita memang adalah pekerjaan yang butuh proses. Tapi bagaimanapun hal itu harus kita lakukan karena itu adalah satu-satunya jalan menuju persatuan dan rekonsiliasi. Setelah tembok itu runtuh, waktunya bagi kita untuk membangun kembali jembatan untuk menjangkau dan menghubungkan kembali perbedaan yang pernah kita rasakan.
Yesus sendiri, yang sepenuhnya Tuhan dan manusia datang sebagai jembatan bagi semua manusia supaya setiap kita memperoleh akses penuh kepada Bapa Surgawi. Itulah sebabnya Yesus disebut sebagai si pembawa damai. Karena hanya Dia yang bisa mengakhiri permusuhan di tengah kehidupan manusia.
Baca Juga: #FaktaAlkitab: Kenapa Sih Orang Israel Rela Mati Buat Tembok Ratapan Yerusalem?
Untuk alasan inilah Yesus sendiri mengambil risiko untuk meruntuhkan setiap tembok pemisah, seperti dosa keegoisan, iri hati, dan kesombongan rohani demi menjembatani perbedaan antara Allah dan manusia.
Setiap kita dipanggil untuk menjadi jembatan perdamaian seperti Yesus. Jadi, jangan menutup dirimu dengan menganggap diri sebagai korban ataupun merasa bahwa dirimu lebih baik dari orang lain. Tapi bukalah dirimu, hidupilah firman Tuhan yang berkata bahwa identitasmu adalah sebagai seorang penyebar kasih dan penopang bagi orang-orang yang lemah. Dunia ini membutuhkan kasih kita, jadi jangan egois dengan dirimu dan dengan ambisimu sendiri. Bangunlah jembatan supaya orang lain bisa mengenali Tuhan yang kita percayai melalui hidup kita.
“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” (Efesus 2: 8-10)
Sumber : Berbagai Sumber