George Floyd, seorang pria kulit
hitam berusia 46 tahun tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin,
salah satu dari empat polisi Minneapolis yang menahannya.
Dilansir dari cnbn Indonesia, George
ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai US$ 20
(Rp 292 ribu) pada Senin (25/5/2020) lalu. Penangkapan Geroge pun terekam dalam
video yang viral di media sosial.
Video yang berdurasi kurang lebih 8
menit itu memperlihatkan Chauvin tengah menekan leher George dengan lutunya
hingga membuatnya tidak bisa bernafas.
Baca juga: Bagaimana Menghindari Gereja Online Mengkanibal Gereja Tatap Muka
Saat itu George berada dalam keadaan
diborgol dan menelungkup di pinggir jalan. Dalam video tersebut, jelas sekali
bahwa George merintih kesakitan dan mengaku tidak bisa bernafas berkali-kali.
Sebelum tewas, dapat didengar dengan
jelas bahwa George mengatakan “lututmu di leherku.” Tak hanya itu, ia pun memanggil
ibunya sambil menangis “Ibu.. Ibu..”
Beberapa masyarakat yang ada di
sekitar lokasi meminta Chauvin untuk melepaskan lututnya dari leher George
namun tak diindahkan. Bahkan beberapa aparat petugas lainnya juga tidak
melakukan apapun terhadap Chauvin.
Saat George tidak lagi bergerak dan
merintih, ia langsung dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulan. George
dinyatakan meninggal dunia ketika tiba di di rumah sakit Hennepin County
Medical Center.
Hal ini lantas membangkitkan amarah publik,
khususnya warga berkulit hitam. Mereka meminta pertanggungjawaban atas kasus
pembunuhan tersebut.
Baca juga: Rumah Ibadah Resmi Dibuka, Apa yang Harus Orang Kristen Lakukan Sebelum Buka Pintu Gereja?
Derek Chauvin dan tiga rekan lainnya, Tou Thao, Thomas Lane, dab J. Alexander Kueng juga diberhentikan dari kepolisian.
Kemarahan pun menjalar menjadi protes
dan melanda kota-kota besar di AS dan saudara George menuntut para tersangka dihukum
atas pembunuhan.
Sementar kerusuhan hebat merajalela
AS, adik George Floyd memohon agar kekerasan dihentikan.
"Tolong, lakukan ini dengan damai," dia memohon pada hari Senin ketika kerumunan pengunjuk rasa yang berduka berkumpul di tempat kejadian saudara lelakinya tewas.
Terrence, dikelilingi oleh para aktivis
hak-hak sipil, meminta orang-orang untuk memprotes tetapi tidak untuk
menghancurkan komunitas mereka.
Terrence juga menjelaskan bahwa
George yang pindah dari Houston, Texas ke St. Louis Park, Minnesota pasti juga
tidak menginginkan kerusuhan yang terjadi dan itu tidak akan membawa kakaknya
hidup kembali.
Baca juga: Rencana Pembukaan Makam Suci Yerusalem Ternyata Ditunda Karena Alasan Ini…
Terrence Floyd, kadang-kadang
diliputi oleh emosi, berdoa dan menangis sambil mengenakan masker coronavirus
dengan gambar George di atasnya.
“Keluarga saya adalah keluarga yang
damai. Keluarga saya takut akan Tuhan. Ya, kami kesal,” katanya. Dua pria lainnya
berdiri di samping Terrence agar dia tidak jatuh dalam kesedihan.
Dikelilingi oleh bunga, lilin, dan
tanda-tanda protes, ia mendesak para pemrotes untuk mengambil suara mereka ke
kotak suara.
"Ayo kita berhenti berpikir bahwa suara kita tidak penting dan memilih. Bukan hanya memilih presiden, tapi juga untuk pemilihan pendahuluan."
Amerika Serikat sendiri saat ini
sedang proses melakukan pemilihan umum untuk memilih presiden dan legislatif.
Isu rasial yang diangkat melalui tewasnya George Floyd menjadi dorongan bagi
para aktivis untuk bersuara agar masyarakat memilih pemimpin yang tepat
sehingga kondisi ke depan menjadi lebih baik.
Mari berdoa bagi Amerika yang bukan
hanya menghadapi masa-masa genting karena
krisis ekonomi dan kesehatan karena wabah corona, namun juga mencuatnya
isu rasial dan juga politik jelang pemilu.