Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam untuk lakukan
demonstrasi besar-besaran jika draf Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja masih dibahas di DPR.
Penolakan ini dilakukan karena Omnibus Law Cipta Kerja dianggap
merugikan pihak buruh, yang mana tidak memberikan perlindungan kepada para
buruh dalam tiga hal yaitu job security (perlindungan kerja), income security
(perlindungan terhadap pendapatan) dan social security (jaminan sosial terhadap pekerjaan).
Lalu apa sih sebenarnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini? Kenapa rancangan ini harus dibuat?
Asal –Usul Omnibus Law
Omnibus Law atau dikenal juga dengan omnibus bill adalah sistem pengaturan undang-undang yang umum
dipakai oleh negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Irlandia dan Suriname,
Inggris, Jerman, Australia, Turki dan negara Asia Tenggara (Malaysia, Filipina,Kamboja, Vietnam dan Singapura).
Kata omnibus law ini berasal dari bahasa Latin yang artinya ‘for
everything’. Atau dalam bahasa hukumnya adalah satu regulasi baru dibentuk
sekaligus untuk menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang sudah berlaku. Konsep
ini hanya menggantikan beberapa pasal di satu regulasi dan di saat yang
bersamaan mencabut seluruh isi regulasi lain. Dalam bahasa yang lebih sederhana
omnibus law bisa mengeluarkan sebuah undang-undang yang berisiko menghilangkan beberapa undang-undang yang lain.
Salah satu keunggulan metode omnibus law adalah kepraktisan untuk
mengoreksi banyak regulasi bermasalah serta meningkatkan kecepatan penyusunan undang-undang.
Karena hal inilah, pemerintah berpikir bahwa satu-satunya alasan
munculnya penerapan RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah karena pemerintah ingin mengubah
proses revisi undang-undang dengan cara yang lebih sederhana yaitu tidak lagi melalui DPR tetapi cukup dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP).
Kontroversi Penerapan Omnibus Law di Indonesia
Dari sisi positifnya, penerapan Omnibus Law bisa membantu pemerintah
untuk mengatasi dua masalah umum yang terjadi. Pertama, mengatasi persoalan kriminalisasi
pejabat negara. Dimana pejabat pemerintah masih tidak leluasa dalam penggunaan anggaran,
karena jika terbukti anggaran menyebabkan kerugian, maka pejabat tertentu akan dipidana tindak korupsi.
Manfaat kedua dari penerapan omnibus law adalah untuk
menyeragamkan kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi. Dengan
kata lain, omnibus law bisa jadi cara singkat sebagai solusi untuk mengatur perundang-undangan yang saling tumpang tindih.
Meski di satu sisi Omnibus Law dianggap bermanfaat untuk mendukung
percepatan pembangunan. Namun, di sisi lain pihak buruh menganggapnya sebagai kerugian.
Hal ini disebabkan karena RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang
tengah dibahas di DPR saat ini berisi tentang beberapa pasal yang cenderung merugikan hak pekerja/buruh.
Seperti disampaikan oleh Ketua Departemen Komunikasi dan
Media KSPI Kahar Cahyo, salah satu pasal di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja berisi
tentang perubahan atas formula upah minimum. Dimana di dalam draf RUU tersebut pasal
88c hanya dijelaskan soal penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan tidak
termasuk dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang selama ini tertuang dalam Pasal 89 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Meskipun RUU ini berisi pasal pemberian bonus sesuai dengan masa
kerja hingga lima kali gaji, KSPI tetap saja menganggapnya hanya untuk menutupi pasal-pasal lain di dalam Omnibus Law yang merugikan pihak buruh.
Baca Juga:
Ingin Tahu Skema Pengupahan? Begini Caranya
Para Pengusaha Perlu Tahu Pentingnya Daftar Hak Merek Usaha Sendiri. Begini Langkahnya!
Seperti diketahui, hal ini ditulis dalam Pasal 92 Bab IV tentang Ketenagakerjaan dimana buruh yang memiliki masa kerja:
- Kurang dari 3 tahun akan diberikan penghargaan sebesar satu kali upah
- Masa kerja 3-4 tahun sebanyak dua kali upah
- Masa kerja 6 sampai 9 tahun sebesar tiga kali upah
- Masa kerja 9 sampai 10 tahun sebanyak lima kali upah
Terlebih, KSPI merasa tidak dihargai karena pemerintah tidak melibatkan mereka dalam penyusunan RUU tersebut.
Berikut 9 penolakan dari KSPI:
1. RUU tidak menetapkan upah minimum kabupaten/kota dan UMK buruh malah menjadi semakin kecil.
2. Pesangon dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja hanya maksimal 17
kali gaji. Padahal sebelumnya bisa mencapai 34 kali gaji jika pekerja di PHK karena kesalahan perusahaan.
3. Penggunaan tenaga outsourcing tidak dibatasi. Dalam
artian, perusahaan bisa menambah karyawan outsource di berbagai bidang bahkan bekerja sebagai profesi inti dan strategis dalam sebuah perusahaan.
4. Upah sesuai jam kerja dianggap memicu perusahaan bertindak eksploitatif terhadap pekerja.
5. RUU Cipta Kerja menyebabkan potensi penggunaan tenaga kerja asing (TKA) unskilled workers atau buruh kasar. Izin masuk TKA ini dianggap lemah.
6 Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dibuat dengan mudah.
7. RUU ini juga dianggap mengurangi hak jaminan kesehatan dan jaminan pensiun pekerja.
8. Masa kontrak karyawan yang tidak ditentukan.
9. Tidak mengatur sanksi pidana bagi pengusaha yang telat membayar upah dan pesangon pekerja/buruh.
Menurut KSPI, kesembilan masalah ini perlu dipertimbangkan kembali.
Jika ternyata pihak pekerja/buruh lebih banyak dirugikan, maka mereka mengancam untuk melakukan penolakan besar-besaran.
Kondisi ini memang terbilang sulit. Namun, pemerintah diharapkan bisa memberikan win-win solution sehingga aturan yang dibuat tidak timpang sebelah, dimana di satu sisi menguntungkan pemerintah dan pengusaha namun di sisi lain merugikan pekerja/buruh.
Sumber : Berbagai Sumber | Jawaban.com