Namaku Evelyn Senewe, sejak kecil, aku tidak pernah benar-benar
memiliki banyak teman. Kenal, sih, hanya saja nggak pernah dekat dengan mereka.
Baru juga mulai dekat, eh Papa dan Mama sudah harus dipindahtugaskan. Belum lagi sikap orang tuaku yang cenderung mengekang dan keras.
Karena tidak tahan dengan hal tersebut, aku dan
kakakku akhirnya memberanikan diri untuk menetap di Semarang. Mulanya, tentu
saja orang tua kami tidak menyetujuinya. Tetapi karena kami tetap bersikukuh,
mereka akhirnya lunak juga. Mereka pun akhirnya meninggalkan kami untuk mandiri di kota ini.
Kujajaki kehidupan yang sangat bebas
Seperti seekor burung yang baru lepas dari
kandangnya, begitu pula aku. Aku mulai bergaul dengan banyak orang. Kebebasan
ini kemudian mengenalkanku pada kehidupan malam. Clubbing, mabuk, bahkan sampai
narkoba pun aku cicipi. Buatku kala itu, inilah nikmat dunia yang sesungguhnya.
Kesenanganku bertambah setelah menjalin sebuah
hubungan dengan seorang pria yang kutemui saat sedang menghabiskan waktu di
sebuah klub malam. Pria ini adalah sosok pribadi yang sangat perhatian. Belum
pernah rasanya aku dikasihi dan diperhatikan layaknya pria ini memperlakukanku.
Aku terlibat dalam sebuah hubungan yang kelewat batas
Karena sudah merasakan kedekatan dan
kenyamanan, kami berdua sampai melakukan hubungan badan, layaknya suami istri. Buatku, inilah cara untuk menyatakan kasih dan sayang kepada pasanganku ini.
Setiap harinya kujalani waktu seperti biasanya,
untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu bersama dengan kekasihku
tersebut. Sampai pada akhirnya, seorang temanku menyadari kebiasaanku yang
berubah. Makanku banyak, berat tubuhku meningkat, bulan ini pun aku belum mengalami menstruasi.
Aku hancur, aku hamil
Aku memberanikan diri untuk membeli test pack
dan mendapati bahwa aku positif hamil. Terang saja aku langsung mengabari
kekasihku tersebut. Bukannya menyambut dengan bahagia, ia justru mencurigai dan bertanya-tanya tentang siapa ayah dari anakku ini.
Ia minta waktu. Selama itu pula aku mencoba
berbagai cara untuk menggugurkan kandunganku. Tidak ada yang berhasil. Tidak
ada satupun dokter yang mau membantuku. Memasuki bulan ketiga, rasa cinta yang
ada pada kekasihku itu berubah menjadi perasaan marah dan kecewa. Ia tak mau bertanggung jawab.
Aku tetap mencari cara untuk menggugurkan
kandungan ini. Akhirnya aku bertemu dengan satu dokter yang bisa membantuku.
Sehari sebelum aku menggugurkan kandungan ini, aku mendatangi Mamaku. Aku menyatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Bukannya lega, aborsi justru jadikanku seperti orang gila
Saat itu, Mama hanya meminta aku untuk minta
ampun pada Tuhan. Ia kecewa kepadaku. Aku meminta maaf atas segala hal yang
kusebabkan. Aku mengucapkan perpisahan, takut kalau-kalau keesokan harinya kami tidak lagi bisa bertemu.
Tentu saja aku ketakutan bukan main. Aku hanya
bisa pasrah buat segala hal yang mungkin terjadi. Namun, aku selamat dan
operasi aborsi itu dinyatakan berhasil. Bukannya kelegaan, aku justru merasa
bersalah teramat sangat. Setelahnya, aku justru menjadi seperti orang gila
karena diserang oleh berbagai tuduhan-tuduhan. Aku mengalami depresi selama lebih dari satu tahun karena hal ini.
Permulaanku berjumpa dengan Tuhan
Beberapa temanku mengajakku ke sebuah acara
KKR. Saat giliranku untuk didoakan, aku memejamkan mata. Aku bisa melihat
sebuah cahaya ditengah ruangan yang gelap. Cahaya tersebut sangat terang, dalam hatiku, aku percaya kalau itu adalah Yesus.
“Anakku, Aku mengasihi engkau apa adanya.
Datanglah kepadaKu semua yang letih lesu dan berbeban berat, maka Aku akan
memberikan kelegaan kepadamu, ” bunyi suara yang kudengar. Aku merasakan
kedamaian yang luar biasa setelahnya. Hatiku yang hancur, seketika itu juga rasanya sembuh dan aku beroleh kelegaan.
Pada titik ini, aku menyadari kasih dan cinta
Tuhan. Sesalah apa pun kita, Tuhan akan selalu mengampuni kita. Ketika kita
membiarkan Tuhan untuk datang ditengah-tengah kita, maka Tuhan akan memenuhi
hati kita. Aku menyadari kalau kasih yang sejati itu hanya datang dari Tuhan.
Setelah mengalami perjumpaan dengan Tuhan,
kehidupanku sangat berubah. Aku mulai memiliki kerinduan untuk melayani Tuhan
di sebuah gereja. Saat itu, keinginanku tidak banyak. Cukup Tuhan saja,
kupikir. Siapa sangka, berkat Tuhan melimpah lewat sosok pria yang akhirnya
menjadi suamiku sekarang ini. Ia mau menerimaku apa adanya, terlepas dari masa
laluku yang kelam.