Singkil merupakan
sebuah kabupaten hasil dari pemekaran kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten singkil sendiri terbentuk pada tanggal 20 April 1999.
Lima belas tahun
sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, agama Kristen sudah masuk
menapaki daerah Aceh Singkil yang waktu itu sangat dekat dengan daerah perbatasan.
Tepat tahun 1930,
Evangelis asal Salak Pakpak Bharat, I.W Banurea ini membawa agama Kristen dan
tahun 1932 dia bekerja sama dengan perkebunan Socfindo untuk mendirikan gereja
pertama di sana. Hal ini nggak hanya terjadi di perkebunan Socfindo, Banurea
juga mengintari desa-desa dan membentuk gereja-gereja di sana. Hingga kini,
Aceh singkil dipenuhi 15 ribu jiwa yang nggak hanya berasal dari singkil tetapi
juga dari daerah-daerah lain di Aceh. Tahun 1968, Gubernur militer sekaligus
ulama pejuang Muslim, Daud Beureu’eh sempat menuturkan dalam pidatonya saat
mendatangi kecamatan lipat kajang dan desa Rimo supaya “gereja ditutup dan
kegiatan agama kristen dihentikan”. Alasannya karena Aceh adalah daerah istimewa yang penduduknya mayoritas muslim.
Nggak hanya berhenti
di sana, tahun 1979 seorang penginjil dari Gereja Tuhan Indonesia (GTI),
Sumatera Utara juga ngunjungi Singkil dan ngediriin gereja lagi di daerah
Gunung Meriah. Hal ini sempat buat ricuh karena kemarahan umat muslim yang nggak terima dengan pendirian tersebut.
Lalu tgl 11 Juli
1979, pemerintah setempat buat sebuah kebijakan dimana 8 ulama agama Muslim dan
8 pengurus gereja sepakat menandatangani surat perjanjian yang mengatakan bahwa
‘ngga seorangpun bisa dirikan atau rehab gereja tanpa izin daerah pemerintah
tingkat II” hingga tanggal 13 Oktober 1979 dibuatlah ikrar bersama yang ditandatangani dan disaksikan oleh Muspida Kab. Aceh
selatan (saat itu singkil belum di mekarkan menjadi kabupaten Aceh singkil), Kabupaten
Dairi-Sumut dan juga disaksikan oleh unsur muspika Simpang Kanan. Ikrar ini juga ditandatangani oleh 11 pemuka agama Kristen dan 11 pemuka agama Muslim.
Dikarenakan Kristen
memberontak dari perjanjian, tahun 2011 dibuat lagi perjanjian baru dimana
gereja hanya bisa didirikan maksimal 1 unit, dengan ketentuan ukuran 12x24
meter. Undung-undung juga hanya boleh 4 unit, yaitu 1 unit di Gampong
Napagaluh, 1 unit di Gampong Suka Makmur, 1 unit di Gampong Keras dan 1 unit di
Gampong Lae Gecih, dan jika terdapat gereja atau undung-undung melebihi ketentuan di atas, maka harus dibongkar.
Kejadian ini melulu
tidak berjalan lancar, pasalnya gereja masih saja didirikan secara liar tanpa
IMB. Ini membuat warga muslim semakin marah dan terganggu. Sehingga pada 27
september 2011 diadakan rapat lagi yang dihadiri oleh Muspida Plus, Ormas,tokoh
masyarat, agama dan LSM yang ada di kabupaten singil. Rapat tersebut akhirnya
menghasilkan sebuah kesimpulan dimana pemerintah Aceh harus meng-inventarisir
jumlah sesungguhnya gereja dan undung-undung,dan bagi gereja/undung-undung yang
tidak memiliki IMB sesuai dengan SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006 dan Pergub
Aceh nomor 25 tahun 2007 serta qanun Aceh Singkil nomor 7 tahun 2002 akan
dimasukkan kedalam sebuah pelanggaran hukum. Pemerintah akan melakukan penertiban keberadaan gereja-gereja yang melanggar hukum sesuai dengan ketentuan yang tertulis.
Sampai saat ini, Aceh
masih berdiri dengan perjanjian yang telah dibuat di tahun 1979 dan 2011.
Sehingga tidak heran jika agama Kristen masih terus terancam karena
undang-undang tersebut. Mengingat Indonesia adalah negara bebas menganut agama
apapun, ini bukan sepenuhnya menjadi kesalahan agama Muslim atau Kristen tetapi hal ini menjadi kesalahan setiap orang.
Satu per satu kita diajarkan mengenai toleransi. Betapa mirisnya toleransi di negara ini.
Mungkin hal ini akan
berkurang, jika kita bersedia mengajar generasi kita sebuah ketoleransian dalam SARA supaya Indonesia tetap bersatu walau berbeda (Bhineka Tunggal Ika).