Empat pelajar SMA yang telah menjalani
proses seleksi sejak tahun lalu ini akhirnya beradu dalam ajang World Schools Debating Championship (WSDC) di Bali hingga tanggal 11 Agustus mendatang.
Mereka bersaing bersama lebih dari 50
negara lain dalam debat bertema “toleransi dan keberagaman”. Patut diancungin
jempol bagi ke empat peserta ini, sebab mereka memiliki keberanian yang luar
biasa sehingga terpilih untuk duduk di bangku debat tersebut dan mewakili Indonesia.
Mengingat Indonesia menjadi tuan rumah,
kelihatannya debat ini cukup menegangkan karena peserta diharuskan berdebat
dalam Bahasa Inggris. Mereka juga harus menampilkan sesuatu yang jauh lebih baik dari debat sebelum-sebelumnya.
“Debat ini menantang dan menegangkan dan
kita selalu di tuntut untuk lebih baik dari penampilan-penampilan sebelumnya,” ujar Nicholas Christanto, salah satu perwakilan Indonesia di WSDC ini.
Tentu untuk mengikuti ajang ini,
Nicholas serta ketiga siswa lainnya yaitu Ngurah Gede Satria Aryawangsa,
Gracesenia Cahayadinata, dan Stephanie Elizabeth Purwanto harus mempersiapkan
diri sebaik mungkin. Mereka harus banyak membaca dan berlatih debat dalam
bahasa Inggris dengan pedebat yang lebih senior- yaitu mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Persiapan mereka salah satunya adalah
rutin membaca berita Internasional seperti membaca majalah terkenal dunia, The Economist dengan topik seputar politik, sejarah hingga konflik timur tengah.
Untuk sampai pada puncak ini sendiri
tentu tidaklah gampang, mereka berempat merupakan siswa terpilih dari sekian
banyak siswa di Indonesia sebagai perwakilan. Patut di dukung dan diberi support.
Namun ternyata yang mengagetkan adalah
artikel kiprah mereka di laman Facebook Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI
malah di respons nyinyir oleh sejumlah pengguna. Miris sekali, bukankah
seharusnya ini menjadi sebuah kebanggaan anak-anak Indonesia karena berani maju untuk memperkenalkan negaranya?
Junaedi Rechan misalnya mengatakan “Apa yang diharapkan dan dibanggakan dari TUKANG DEBAT?”
Lainnya malah menyoroti pakaian yang
dikenakan peserta pada foto tersebut. “Benerin pakaiannya.” kata Sudadi Allio
Alliya. “Anda berdebat mewakili negara sedangkan pakaian Anda saja layak diperdebatkan,” tulis Fachri Noer.
Tim pelajar Indonesia mengaku cukup
kecewa dengan berbagai komentar ini. Bagaimana tidak? Peserta ini sedang
berupaya belajar dan berlatih untuk membawa nama Indonesia tetapi mereka harus
diserang dengan beragam komentar negatif. Bukannya mendapat dukungan dan motivasi, mereka malah mendapat olokan yang menyakitkan.
“Sangat disayangkan, kita hidup di
komunitas di mana seseorang bisa menghakimi orang lain dan menilai seperti apa orang lain itu dengan bagaimana orang itu berdandan”, kata Nicholas.
“Kita cukup kecewa karena mereka tidak bisa melihat bahwa dalam acara lain, cultural night (misalnya)
kita pakai kebaya, dan di sesi debat, kita pakai batik. Itu yang mereka tidak
liat dan menafsirkan berdasarkan satu gambar,” kata Stephanie mengungkapkan kekecewaannya.
Stephanie juga menambahkan bahwa
komentar-komentar semacam ini justru alasan mengapa anak-anak muda butuh banyak berlatih debat, karena debat bisa membuat pikiran lebih terbuka.
“Di Indonesia debat masih dalam proses
perkembangan, tapi di dunia Internasional debat sangat dihargai. Kami mencoba
daftar ke beberapa universitas Amerika dan mereka sangat tertarik dengan (kegiatan) debat (kami). Karena debater nbsp;itu punya kemampuan
pemikiran kritis, tidak hanya pintar baca buku tetapi bisa menganalisa,” tambah Gracesenia.
Meresponi komentar-komentar negatif di
atas, Rizal Kuddah seorang supervisor seleksi WDSC regional provinsi Jawa Timur
kepada BBC Indonesia mengungkapkan kekesalannya. “(Saya) sakit hati dan tidak
terima anak didik saya di komentari seperti itu. Proses (seleksinya) panjang
dan berat. Kalau tidak baca materi (debat) itu sama dengan bunuh diri. Mereka
harus baca jurnal internasional dengan banyak topik dari makro ekonomi sampai kajian timur tengah.”
Nicholas dan Stepahine juga menjelaskan
bahwa debat ini bukan debat guna menjatuhkan dan menjelekkan satu sama lain, tetapi berargumentasi guna saling membuka wawasan satu sama lain.
“Memahami bahwa kita tidak selamanya
benar, kita harus selalu membuka diri untuk analisa baru, perspektif baru. Kita tidak bisa kekeh merasa bahwa kita paling benar”, kata Nicholas.
Sangat disayangkan jika anak-anak
Indonesia masih termakan oleh pemikiran yang menjerumuskan bangsa ini kepada ketidakmajuan.
Alangkah baiknya dipikirkan dulu dan
dicari tahu sebelum kita mengomentari dengan bahasa yang menunjukkan kebodohan sendiri.
Indonesia adalah negara demokrasi yang
bebas berpendapat, tetapi apakah pendapat kita itu menjatuhkan orang lain atau justru mendukung kerja keras orang lain, itu patut dipikirkan.