Albania, negara yang terletak di semenanjung Balkan ini memang sudah dikenal luas dengan toleransi agama dan keharmonisan yang mereka pelihara. Meski separuh dari jumlah penduduknya adalah Muslim, tapi negara ini juga sangat menghormati mereka yang beragama Kristen dan agama lainnya. Gereja-gereja dan masjid-masjid bahkan dibangun berdekatan.
Kota Berat menjadi pusat kota yang sangat penting di Albania. Karena di sana terdapat Museum Onufri yang melambangkan kerukunan. Karya seni Albania abad ke-18 ini melukiskan suatu adegan Kristiani dengan menara-menara masjid terlihat menjulang sebagai latar belakangnya dan lukisan ini disanjung-sanjung sebagai simbol keharmonisan agama yang terkenal di negara tersebut.
Tapi saat ditengok kebelakang, masa lalu Albania memang terbilang menyedihkan. Pada periode antara tahun 1944-1992 saat rezim komunis ketat dipimpin diktator Enver Hoxha, negara ini diubah sebagai negara ateis pertama di dunia. Dia bahkan membuat Albania terisolasi dari dunia luar.
Selama rezim ini terus berkuasa, gereja-gereja dan masjid-masjid disita oleh militer, dirusak atau dijadikan bioskop atau ruang dansa. Para pendeta dicopot gelarnya, dipermalukan, dan dalam beberapa kasus mereka dijebloskan ke penjara.
Beberapa orang berspekulasi bahwa kekerasan untuk menyingkirkan agama-agama mengakibatkan Albania mengadopsi pola pikir sekuler, dan negara tersebut tidak mengalami pertentangan agama karena kepercayaan bukanlah unsur penting kehidupan bagi banyak orang saat ini.
Tapi setelah rezim tersebut berakhir, penduduk Albania perlahan-lahan menciptakan keharmonisan. Sebuah kisah keharmonisan agama pun terjadi di desa kecil Malbardh di Albania Utara. Beberapa tahun lalu, daerah kecil tersebut menjadi berita utama di seluruh negeri saat penduduk Muslim lokal menggalang dana dan membangun kembali gereja Katolik satu-satunya di sana yang diruntuhkan bersamaan dengan tempat-tempat peribadatan lainnya selama rezim Hoxha.
Malbardh bukan satu-satunya daerah yang mempunyai cerita-cerita seperti ini. Leskovik, sebuah desa dekat perbatasan Yunani, dikenal karena tempat peribadatan untuk umum yang dibangun dari reruntuhan masjid yang rusak pada waktu Perang Dunia kedua. Reruntuhan tersebut tetap tak tersentuh selama era komunisme, tapi sekarang tempat peribadatan tersebut, yang terletak di lantai dasar menara masjid terdahulu, sering dikunjungi oleh umat Muslim dan Kristen untuk berdoa.
Cerita-cerita ini khususnya penting saat ini. Dengan rasa ketakutan yang ditumbuhkan oleh kelompok-kelompok ekstrim, tampaknya memisah-misahkan agama hanya mendorong ketakutan menjadi lebih besar.
Ada berbagai acara yang dilakukan oleh Muslim dan Kristiani untuk tetap semakin mempererat hubungan keduanya. Misalnya, The Day of the Blessed Water adalah hari libur Kristen yang dirayakan oleh para peserta dengan menyelam ke dalam sungai untuk mencari sebuah salib. Tapi acara ini terbuka untuk semua dan ada banyak orang Muslim yang justru menang dalam lomba ini.
Sementara itu, menjadi hal yang lazim bagi orang Kristen untuk berpartisipasi dalam perayaan pesta hari raya Idul Fitri untuk mengakhiri bulan puasa Ramadan. Dengan keterlibatan dengan sesama begitu seringnya dan dengan cara-cara yang berarti, umat Muslim dan Kristen Albania telah menciptakan komunitas kuat yang didirikan pada sikap memahami dan menghormati.
Susah untuk mengatakan apakah dunia akan mengambil contoh dari keharmonisan negara ini dan menerapkannya di hati mereka. Tapi ada sesuatu yang bisa dikatakan dari negara kecil di semenanjung Balkan tersebut bahwa anak-anak tumbuh besar dengan mendengar suara azan dan lonceng gereja dari luar jendela rumah mereka. Bagi mereka, hidup berdampingan dan keharmonisan menjadi hal normal selayaknya bernapas.
Sumber : BBC