Keterikatan kita
terhadap apa yang kita miliki di dunia ini dapat menjadi bumerang terhadap
hubungan kita dengan Tuhan. Seolah-olah, kita tidak dapat hidup jika kita tidak
memiliki atau mendapatkannya. Akibatnya, kita menjadi khawatir, takut dan mulai
membayangkan hal-hal yang menurut pikiran kita bisa terjadi atau memikirkan
segala cara untuk mendapatkannya. Ini adalah pekerjaan iblis dengan membisikkan
kata di dalam hati kita dan membuat kita jatuh ketika kita memilih
menanggapinya. Iblis bekerja untuk mencuri damai sejahtera dan suka cita yang ada di dalam kita.
Kondisi tersebut
terjadi seperti di zaman Lot. Mereka makan dan minum. Mereka membeli dan menjual.
Mereka menanam dan membangun. Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom,
turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka
semua. Tuhan berkata bahwa tak
seorangpun yang perlu menoleh ke belakang jika ingin diselamatkan. Barangsiapa
pada hari itu sedang di peranginan di atas rumah dan barang-barangnya ada di
dalam rumah, janganlah ia turun untuk mengambilnya, dan demikian juga orang
yang sedang di ladang, janganlah ia kembali. Ingatlah akan isteri Lot!
Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya.
Sayangnya,
istri Lot tidak mengindahkan perintah Tuhan. Dia mulai menoleh ke belakang karena
merasa sayang dengan segala sesuatu yang mereka tinggalkan, karena tanah Sodom
dan Gomorah, tanah yang begitu indah (Kejadian 12:10). Saat itu, dia langsung berubah menjadi tiang garam.
Kekhawatiran
dan ketakutan timbul ketika kita tidak mempercayakan Tuhan berkarya dalam hidup
kita. Dan saat itulah iblis bekerja untuk menggalkan rencana Tuhan. Oleh karena
itu, kita perlu memelihara hati yang penuh ucapkan syukur, puji-pujian, doa di dalam
roh dan kebenaran. Sehingga kuasa kegelapan tidak menguasai kita. Inilah yang patut
kita contoh dari Ayub. Dia mengucapkan syukur atas segala sesuatu yang terjadi di
dalam hidupnya. Meskipun keadaan berbalik total, namun Ayub tetap memuji Tuhan (Ayub
1: 20-21). Ayub rela menerima keadaan yang Tuhan ijinkan terjadi kepadanya dan melepaskan
segala hal yang dia miliki sebelumnya dengan segala ucapan syukur. Sikap ini kemudian diperhitungkan Tuhan dan mengangkat kehidupannya.
Teladan
hidup lainnya juga bisa kita lihat dari Abraham yang dengan setia menantikan janji
Tuhan akan keturunan. Tuhan pun memenuhi hal itu ketika Abraham mendapatkan Ishak
di usianya yang tak lagi muda. Namun, suatu kali Tuhan meminta Ishak untuk
dikorbankan (Kejadian 22: 1-12). Kita bisa menempatkan diri di posisi Abraham tentunya.
Seorang ayah yang harus merelakan anaknya disembelih untuk dipersembahkan kepada
Tuhan dan itu tentu tidak mudah bukan? Tetapi Abraham taat dan memberikannya untuk
menjadi korban bakaran bagi Tuhan. Dia melepaskan segala ikatan karena dia
percaya Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Namun iman semacam itulah yang dicari Tuhan sehingga Ia bertindak memenuhi segala janji-janji-Nya.
Abraham
mengasihi Allahnya lebih dari segalanya yang ia miliki, bahkan anaknya sendiri
yang sudah ia nanti-nantikan berpuluh-puluh tahun. Pada saat ia melepaskan
segala ikatan hanya bagi Allah, justru Allah memberikan segala-galanya bagi
Abraham dan menikmati segala janji-janji Tuhan (Kejadian 22:15-18). Begitupun
pada Ayub, dia kehilangan segala-galanya namun Ayub tetap setia dengan
mengatakan kebenaran Tuhan, dihadapan teman-temannya yang mencela Ayub dan
dihadapan Tuhan, sehingga ia mendapatkan kembali segala kepunyaannya dahulu bahkan berlipat ganda (Ayub 42:7 & 10).
Sering kali
didalam hidup, kita menjadi orang yang egois dan ambisius. Kita ingin terus mengejar
semua yang kita ingini. Semnetara ketika kita menerima berkat dari Tuhan, kita lupa
bahwa semua itu adalah campur tangan Tuhan. Kita juga berusaha keras mempertahankan
apa yang menurut kita berharga. Hal ini kerapkali tidak kita sadari sehingga
kita akan terus berusaha dengan kekuatan kita yang terbatas dan pada suatu
titik kita tidak akan lagi mampu untuk melakukannya.
Inilah sumber
keputusasaan, kekhawatiran, ketakutan, gelisah, gentar karena kita tidak
menanggapi karya Roh Kebenaran di dalam diri kita. Kita harus menanggapi karya
Roh Kudus di dalam hidup kita yaitu dengan melepaskan segala keinginan kita dan
membiarkan diri kita dikuasai dan dipimpin oleh Dia. Sehingga kita dapat menikmati
segala janji-janji Tuhan seperti yang diterima oleh Abraham.