Jika kebahagiaan diibaratkan seperti air mancur, maka sukacita ibarat air terjun. Kebahagiaan seringkali bermakna dangkal, sementara sukacita mampu digambarkan dalam arti yang mendalam. Perasaan bahagia juga seringnya hanya bisa bertahan dalam waktu singkat, lalu menghilang. Berbeda dengan sukacita yang cenderung bertahan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, kebahagiaan juga seringnya hanya berfokus pada diri, sementara sukacita lebih melibatkan orang lain.
Banyak orang yang tidak sadar bahwa diri mereka sedang mengejar kebahagiaan dan mulai melupakan banyak orang. Padahal, Yesus menawarkan sesuatu yang lebih besar daripada kebahagiaan. Tuhan menawarkan sukacita yang mampu menguatkan kita didalam mengikut Kristus dengan penuh kerendahan hati, ketulusan, pertobatan, dan iman. Dengan mengakui fakta bahwa sebagai manusia kita renta secara rohani, namun Yesus hadir dan menjadi sumber kekuatan.
Dalam Yesaya 12: 3 tertulis, “Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan.”
Sukacita akan kita alami bila kita hanya mengijinkan Tuhan memiliki hati kita. Untuk itu, berhati-hatilah dengan sesuatu yang masuk ke dalam hati. Sebab hati adalah pusat dari kehidupan dimana sukacita bersemayam (Amsal 4: 23).
Untuk menjaga sukacita tetap tinggal di dalam hidup, kita perlu meminta Tuhan untuk menjaga hati kita setiap waktu. Seperti dalam nyanyian Annie Hawks yang mengatakan, “Aku memerlukan Engkau, ya aku memerlukan Engkau; setiap jam kuperlu Engkau; O berkati aku sekarang, juru slamatku, datanglah.”.
Sukacita sakan hadir ketika kita benar-benar meminta Tuhan untuk hadir. Semakin jiwa kita merindukan Tuhan, semakin besar pula sukacita yang akan kita alami setiap hari.
Sementara ketika kita mengejar kebahagiaan, kita hanya mengejar kesia-siaan. Semua waktu yang dihabiskan untuk mengejar sesuatu hanya dilandaskan pada diri pribadi. Semakin kita mengejar hal-hal (duniawi), semakin kita merasakan kegelisahan. Tetapi ketika kita semakin mengandalkan Tuhan, kita akan dipenuhi sukacita.
Raja Salomo pernah menulis kalimat bijak berikut, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia. (Pengkhotbah 5: 10)”
Mengapa demikian? Karena sukacita tidak ditemukan saat mengejar harta duniawi. Seorang jutawan bernama Ross Perot berkata, “Teman, ingatlah, jika kamu beruntung, jika kamu sbisa menghasilkan banyak uang, jika kamu keluar dan membeli banyak barang-barang, semua itu akan habis. Kamu punya hal terbesar di hidupmu, rumah termewah di dunia. Punya AC. Punya kolam renang. Tetapi pikirkanlah semua itu akan hilang. Atau pergilah berlayar kemana saja. Tak seorang pun yang tersenyum, dan saya akan mengatakan alasannya. Sesuatu berantakan sdi pagi hari; generator rusak; microwave rusak..banyak hal yang terasa tidak membahagiakan.”
Ucapan Ross menegaskan bahwa dunia menawarkan kebahagiaan, tetapi akan sangat jarang kita rasakan. Sementara Tuhan menawarkan sukacita, dan Dia akan selalu memberikannya kepada kita.
“Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa (Mazmur 16: 11),” kata pemazmur.
Tuhan mengatakan kepada umat-Nya melalui Nabi Yeremia, “Dan sekarang, apakah untungmu untuk pergi ke Mesir, hendak meminum air sungai Nil? Dan apakah untungmu untuk pergi ke Asyur, hendak meminum air sungai Efrat? Kejahatanmu akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan menyiksa engkau! Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pedihnya engkau meninggalkan TUHAN, Allahmu; dan tidak gemetar terhadap Aku, demikianlah firman Tuhan ALLAH semesta alam (Yeremia 2: 18-19)”.
Ya, sukacita mendasar itu ditemukan dalam hubungan yang intim dengan Sang Pencipta kita melalui iman dalam Kristus. Allah harus hadir sebagai pribadi pertama di dalam hati kita agar hidup kita menghasilkan buah roh (kasih, sukacita, damai sejahtera….). Ini adalah dua hal yang saling berkaitan. Saat kita telah dipimpin oleh Roh, maka air terjun sukacita itu akan mengalir deras dalam diri kita. Salah satu tantangan terbesar kita adalah berani mengatakan ‘tidak’ untuk pikiran-pikiran, perkataan, tindakan dan hal-hal yang menghalangi air terjun sukacita Allah mengalir dalam hidup kita.
Dan sukacita itu tidak akan pernah hilang ketika kita semakin menguatkan hubungan dengan Tuhan melalui doa, pembacaan firman dan persekutuan dengan orang-orang percaya lainnya. Sebab tak ada sukacita yang lebih besar selain mencintai dan menaati Tuhan.
Adalah sia-sia ketika kita mengejar kebahagiaan sementara Tuhan telah menyediakan sukacita yang begitu besar. Saat kita sudah menerima sukacita dari Tuhan, secara alami kita juga akan merasakan sukacita dalam hubungan kita dengan orang-orang terdekat, seperti keluarga, saudara, dan teman-teman. Jadi yang kita perlukan hanya terlebih dahulu mencari Tuhan di atas dari segalanya.