Jelang Valentine, sebagian dari kita mungkin mulai sibuk merencanakan perayaan hari kasih sayang. Sementara sebagian lagi merasa kurang semangat, mengingat status yang masih single.
Memang hari kasih sayang bukan berarti hanya berbagi kasih kepada kekasih, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa moment ini memang lebih banyak dirayakan bersama pasangan. Lalu bagaimana seharusnya bagi para lajang Kristen yang sudah memasuki usia menikah harus menangani hubungan dalam kehidupan nyata?
Banyak godaan yang hadir saat ini. Teman-teman saya terus mengajukan pertanyaan sepanjang waktu dan saya terus berusaha menghindar. Jadi topik tetap melajang di usia menikah sepertinya menjadi cukup populer di kalangan saya.
Beberapa tahun yang lalu, seorang pria benar-benar membuat saya tergoda: saya diminta untuk menemaninya ke sebuah pesta dansa yang megah. Tapi saya menolaknya. Kenapa? Karena dia tidak seiman. Jadi gaun pesta saya tetap tergantung di dalam lemari malam itu.
Beberapa orang mungkin akan berkata, "Hei Stacie, kamu terlalu ekstrim. Itu kan hanya kencan". Yah, sebuah kencan cukup untuk meluncurkan roket emosi dan kemungkinan yang tak dapat diterima.
Saat ini saya sedang tidak mencoba untuk melawan cara yang berbeda agar bertemu dengan orang lain. Saya hanya tidak akan terburu-buru. Hal itu tidak akan berhasil. Meskipun saya memiliki banyak kesempatan, saya hanya memilih beberapa kencan dan itu tidak banyak. Mengapa? Karena saya ingin menjaga hati saya, hati pria yang mendekati saya, dan memanfaatkan kriteria yang berpusat pada Kristus.
Ya, saya adalah seorang wanita usia 24 tahun, belum menikah, super sibuk, dan memiliki hasrat untuk Injil. Saya tetap menyembunyikan status hubungan saya dari publik di facebook untuk alasan yang baik: Saya bukan berkencan untuk mencari perhatian. Saya berkencan dengan niat.
Kawanan mak comblang mendatangi saya dan menawarkan pilihan terbaik mereka – dan terkadang itu putra mereka sendiri! Namun dengan halus dan lembut saya menahan diri dari kebanyakan mereka. Mengapa? Karena saya percaya bahwa Pencipta saya adalah mak comblang saya.
Sebagai orang percaya, kita seringkali jatuh dalam tiga kategori ini:
1. Cendekiawan Tanpa Komitmen
Beberapa orang percaya memasuki siklus penalaran yang tidak sehat dengan melakukan sindrom tanpa komitmen. Mereka mengenakan topeng kekuatiran dan menyebutnya sebagai "analisa". Hal ini menyebabkan banyak orang menjadi tidak sadar akan hal-hal yang sebenarnya mudah dimengerti. Banyak hati yang terluka sebagai akibat dari kekuatiran intelektual.
2. Penyelam Emosional
Beberapa orang mencampur-adukkan perasaan dengan iman. Mereka "merasa" telah bertemu dengan "orang yang tepat". Oleh karena itu mereka pun menenggelamkan diri. Mereka menyelam dengan sangat dalam dan akhirnya berjuang untuk bertahan hidup di kemudian hari.
3. Seimbang dan Berani
Orang percaya ini menyadari bahwa pernikahan adalah hal yang serius, tapi juga menarik keberanian mereka dari Kristus. Mereka berjalan dengan hati-hati dan penuh dengan tujuan. Mereka tidak berkencan selama bertahun-tahun (atau dalam hitungan hari) untuk membuat keputusan. Mereka memutuskan untuk berkomitmen atau berpisah dalam jangka waktu yang wajar. Kemudian, ketika mereka bergantung pada iman dan formula yang berpusat pada Kristus untuk menemukan "teman hidup", mereka berkomitmen tanpa membiarkan ketakutan memimpin hati mereka.
Apakah Anda merasa sedang berada di dalam "ruang tunggu cinta"-nya Tuhan? Apakah Anda masih melajang (di usia yang sudah pantas untuk menikah serta mapan) dan harus menghadapi para ibu-ibu yang menjadi mak comblang? Apakah Anda ingin mengikuti Yesus tanpa kompromi?
Jangan khawatir, dalam artikel selanjutnya saya akan memberikan beberapa tips untuk tetap berpusat pada konsep Ilahi dalam menemukan ‘teman hidup’.
Apakah artikel ini memberkati Anda? Jangan simpan untuk diri Anda sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang belum mengenal Kasih yang Sejati. Mari berbagi dengan orang lain, agar lebih banyak orang yang akan diberkati oleh artikel-artikel di Jawaban.com seperti Anda. Caranya? Klik disini.