Anda pasti pernah mendengar atau menemukan cerita pasangan yang kehilangan pasangan suami/istri tak lama setelah menikah karena musibah atau penyakit. Kematian memang datang tanpa seorang pun dapat menduga dan saat kehilangan itu datang, setiap orang harus siap menghadapinya.
Tak akan mudah memang menerima kepergian seseorang yang kita cintai, apalagi bila usia pernikahan masih terbilang muda. Akan ada masa keterpurukan mendalam, kesedihan dan semangat hidup yang hilang dalam waktu yang tak dapat ditentukan.
Pasangan diartikan sebagai belahan jiwa. Saat ditinggal pergi untuk selamanya memang akan menjadi beban yang sangat berat. Ibarat kehilangan separuh jiwa yang selalu ada baik dalam suka maupun duka. Luka atas kehilangan ini bahkan terus ada dan membuat seseorang menutup diri dengan pribadi yang baru. Meski sebagian diantaranya memilih bangkit dan memulai perjalanan hidup yang baru bersama pasangan yang baru.
“Tingkat kesulitan seseorang dalam menghadapi pasangan telah meninggal lebih dulu sangat dipengaruhi oleh tingkat cinta yang telah mereka bangun,” demikian ucap M.G Yulistin Puspaningrum. Sebab hal itu dipengaruhi oleh keterikatan, ketergantungan dan emosi dengan pasangan. Duka mendalam ini tidak hanya terjadi bagi mereka yang baru saja menikah, tetapi juga pasangan yang sudah berpuluh tahun menikah.
Reaksi pertama yang biasa dialami ketika seseorang ditinggal pasangan adalah shock hebat dan terguncang, mulai mengalami penolakan, kemarahan, perasaan bersalah dan depresi. Rasa tidak percaya saat mendengar kabar duka, atau bahkan menghadapi langsung kematian pasangan adalah emosi yang normal terjadi. Menangis adalah ekspresi emosi yang dialami orang yang berduka. Mereka juga bisa marah kepada pasangan yang telah meninggalkannya dan juga marah kepada Tuhan.
Luka akibat kehilangan tentu akan menjadi kenangan yang akan selalu melekat dalam perjalanan hidup seseorang. Namun hidup harus tetap berjalan dan waktu terus berputar. Setiap orang masih layak menjalani kehidupannya dengan sepenuhnya. Selain memulihkan kondisi psikologi dengan konseling, tiga cara ini juga bisa membantu luka kehilangan:
Memulihkan fisik
Memulihkan pikiran dan perasaan bisa dilakukan dengan berolahraga agar tubuh jadi lebih segar dan perasaan menjadi lebih mudah dikendalikan. Lagipula dengan melakukan latihan atau berolahraga secara teratur bisa merangsang hormon endorphin untuk mengurangi stres.
Memulihkan jiwa
Ditinggal pasangan meninggal akan meninggalkan luka mendalam yang tentu membutuhkan proses pemulihan yang begitu lama. Namun itu bukanlah akhir dari segalanya. Menangislah jika memang itu mampu membantu melegakan perasaan, namun jangan terlalu sering menangis. Usahakan untuk fokus dengan melakukan berbagai hal yang mungkin bisa membuat perhatian teralihkan.
Terbuka dengan lingkungan sosial
Lingkungan memberikan pengaruh besar dalam proses pemulihan lika batin. Terbuka dengan lingkungan luar, bergaul dengan teman-teman untuk sekadar bercerita dan meluapkan kesedihan hati. Menceritakan suasana hati kepada teman tentu akan membuat beban hati sedikit lebih ringan.
Jika pada masa duka seseorang masih mempertanyakan mengapa Tuhan mengijinkan hal itu menimpa dirinya, maka jawabannya adalah Dia bersama-sama dengan kita dan merasakan kesedihan yang kita alami. Dia bahkan mengerti semua pertanyaan yang muncul saat kita berduka.
Mengapa dia meninggal di usia yang sangat muda? Yesus menjawab, "Aku mengerti perasaanmu. Aku juga mati di usia 33 tahun.
Mengapa dia harus mengalami kematian yang menyakitkan? Yesus menjawab: "Aku merasakan penderitaannya. Aku dipukuli, dicambuk dan disalibkan."
Aku sangat merindukan dia. Yesus menjawab, "Aku mengerti kesedihanmu, Aku juga pernah meninggalkan sorga dan datang ke bumi ini."
Mengapa manusia tidak bisa hidup kekal? Jawab Yesus: "Aku mengerti masalahmu ini, karenanya aku mati di kayu salib, bangkit dan naik ke sorga agar setiap orang yang percaya kepada-Ku memperoleh kehidupan kekal."
Sumber : Berbagai Sumber/jawaban.com