Borghild Dahl dalam bukunya berjudul 'I Wanted to See’ menuliskan sebuah kisah ajaib tentang belas kasih Tuhan di tengah kelemahan dalam penglihatannya.
Borghild Dahl berkata, “Saya hanya punya satu mata. Itu pun hampir tertutup seluruhnya oleh selaput, sehingga saya hanya bisa melihat melalui celah kecil mata saya sebelah kiri. Saya hanya bisa membaca buku kalau buku itu saya pegangi dekat-dekat dengan muka, dan dengan sekuat tenaga saya pusatkan penglihatan saya melalui celah kecil mata sebelah kiri”.
Tetapi dia tidak mau dikasihani. Ia tidak mau diistimewakan. Ia ingin seperti orang lain. Sebagai anak kecil ia ingin ikut main jingkat-jingkat dengan gadis-gadis kecil lainnya. Akan tetapi ia tidak bisa melihat garis di tanah. Oleh karena itu, setelah anak-anak lain berhenti bermain dan pulang, ia merangkak di tanah sambil mendekatkan matanya ke tanah untuk melihat garis-garis batas permainan tersebut. Setiap garis dan tanda diamati betul-betul sedikit demi sedikit.
Akhirnya ia hafal dan dapat ikut bermain dengan baik. Di rumah ia senang membaca. Tapi bukannya harus didekatkan ke mata sampai bulu matanya menyentuh halaman buku. Ia berhasil meraih dua gelar kesarjanaan, yaitu B.A atau sarjana muda dari Universitas Minnesota dan Master of Arts dari Universitas Columbia.
Lalu, Dahl menggeluti profesi sebagai pengajar di sebuah dusun kecil di Twin Valley, Minnesota dan akhirnya naik tingkat jadi guru besar jurnalistik dan sastra di Augustana College di Sioux Falls, South Dakota. Di sana ia mengajar selama tiga belas tahun, memberi ceramah kepada perkumpulan-perkumpulan wanita dan memberikan pidato radio mengulas tentang buku dan penulis. “Dalam benak saya,” katanya. “Saya selalu dibayangi oleh rasa takut yang mengerikan. Takut kalau-kalau saya jadi buta sama sekali. Untuk mengatasi hal ini, saya berusaha bersikap tenang, berusaha selalu hidup riang dan gembira”.
Kemudian pada tahun 1943, ketika Dahl berusia lima puluh tahun, etrjadilah mujizat: operasi mata yang dijalaninya di Mayo Clinic berhasil dengan baik! Sekarang ia dapat melihat empat puluh kali lebih daripada sebelumnya. Dunia baru yang indah dan menarik, terpampang di depan matanya. Bahkan mencuci piring pun membuat dia sangat gembira dan kagum. Hal ini diceritakan dalam bukunya.
“Saya lantas bermain-main dengan buih sabun yang ada di dalam bak cuci. Saya memasukkan tangan saya ke dalamnya untuk mengambil bola-bol kecil buih sabun tersebut. Bola-bola kecil itu saya angkat menawan hati. Saya melihat tiap bola itu bagaikan pelangi kecil dengan warna beraneka ragam dan cemerlang berkilauan.”
Ketika memandang ke luar jendela dapur, Dahl melihat burung-burung gereja mengepak-ngepakkan sayapnya yang berwarna abu-abu kehitmana terbang menembus hujan salju yang sedang turun. Sambil melihat pemandangan indah yang memukau hati seperti bola-bola buih sabun serta burung-burung gereja yang mungil itu. Borghild Dahl menutup bukunya dengan kata-kata, “Ya, Tuhan. Bapa kami yang ada di Sorga, saya mengucap syukur di hadiratMu. Saya sangat berterima kasih atas anugerahMu ini”.
Kisah ini memberi pesan yang sangat kuat bahwa salah satu sikap yang patut diteladani dari Borghild Dahl adalah membiasakan diri untuk tidak mau meminta belas kasihan dari manusia. Tetapi hanya meminta belas kasihan dari Tuhan. Kita diajarkan untuk tetap bertanggung jawab dengan hidup ini, tidak melihat apa yang kita tidak punya, tetapi justru berkonsentrasi kepada apa yang ada dan memanfaatkannya dengan maksimal.
Apakah artikel ini memberkati Anda? Jangan simpan untuk diri Anda sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang belum mengenal Kasih yang Sejati. Mari berbagi dengan orang lain, agar lebih banyak orang yang akan diberkati oleh artikel-artikel di Jawaban.com seperti Anda. Caranya? Klik DI SINI.
Sumber : Buku Self Image by DR. Ir. Fu Xie & Ir. Jarot Wijanarko/ls