“Mulai sekarang kami berdua tidak mau melayani Allah lagi. Kami telah dengan setia melayaniNya, Dia bukan saja tidak memberkati, malah membuat anak kami mati.”
Sejak saat itu, kehidupan mereka yang sebelumnya taat berubah drastis menjadi sangat tidak karuan. Mereka hidup sembarangan dan tidak lagi bergairah melayani, tidak ikut dalam sebuah pelayanan gereja. Kehidupan demikian mereka jalani hingga lebih dari delapan tahun lamanya.
Tiba pada suatu hari, si suami sedang berjalan di suatu belantara. Tampak baginya seorang penggembala domba yang hendak menyeberangkan kawanan domba melalui sebuah anak sungai. Pada masa itu, sangat biasa jembatan yang dibuat diantara anak sungai di desa-desa dalam kondisi reot, hanya ada papan-papan yang melintang yang menghubungkan kedua tepinya. Jembatan itu bisa dikatakan cukup "darurat" bagi manusia yang melintasinya. Belum lagi bagi hewan, termasuk kawanan domba yang penakut dan bodoh, jembatan itu seperti jalan yang sangat membahayakan.
Meskipun sang gembala mencambuk dan mendorong domba-dombanya, mereka tetap tidak berani menyeberang. Menyadari usahanya tak membuahkan hasil, gembala itu akhirnya mengangkat seekor anak domba kecil yang sangat disayangi oleh induk domba. Sang gembala menggendongnya dan berjalan sembari menyeberangi jembatan itu. Saat induk domba menyaksikan bahwa anak kesayangannya dibawa menyeberang, dengan keberanian yang entah darimana sang induk segera berjalan mengikuti gembala. Secara otomatis kawanan domba lainnya pun ikut menyeberang di belakang.
Saat menyadari apa yang diperbuat seorang gembala terhadap domba-dombanya, si suami itu berbisik dalam hati. “Cukuplah!”. Sejak hari itu dia menyadari bahwa apa yang diperbuatnya dan istri atas kehilangan anak kesayangan mereka adalah kesalahan besar. Ia menyadari bahwa saat Tuhan mengambil anak yang ia cintai, bukan berarti Tuhan jahat, justru sebaliknya Tuhan hendak melakukan sesuatu yang besar dalam hidupnya.
Pengalaman yang ia dapatkan itu lalu dijadikan sebagai kesaksian hidup. Ia berkata, “Karena Allah tidak menghendaki aku tertinggal di seberang sungai ini, maka Dia telah membawa anakku menyeberang lebih dulu. Domba yang begitu bodoh saja mengetahui dan akhirnya ikut menyeberang. Mengapa aku masih saja berlambat-lambatan dan tidak mau segera menyeberang?”
Kisah ini memberi kita pelajaran bahwa Tuhan tidak pernah salah bertindak. Hanya manusia saja yang kerap salah menilai rencana Tuhan karena tidak memandang dari sudut pandang Tuhan. Mari belajar dari seekor domba bodoh yang berani menyeberang mengikuti gembalanya.
Anda diberkati dengan artikel ini, yuk share artikel ini di Facebook-mu
dan ajak teman-temanmu untuk re-share link artikelnya. Semakin banyak
yang re-share, semakin keren hadiahnya. Keterangan lebih lanjut, KLIK DI SINI