"Pernyataan itu sangat tidak manusiawi dan sebetulnya bertentangan dengan prinsip dan program pemerintah sendiri, pemerintahan Jokowi yang melanjutkan pemerintah sebelumnya," kata Direktur Eksekutif HRWG Rafendi Djamin di Jakarta, Jumat (13/3/2015).
Menurut Rafendi, pernyataan itu merendahkan martabat manusia karena memosisikan para pencari suaka sebagai komoditas diplomatik untuk mengurangi tuntutan Australia terkait eksekusi mati dua warga negara Australia. Sebagai negara penganut sistem demokrasi, kata Rafendi, Indonesia seharusnya menunjukkan komitmennya dengan melihat isu pengungsi atau pencari suaka ini dari perspektif hak asasi manusia.
Terlebih lagi, hak untuk para pencari suaka tersebut telah diakui dalam konstitusi. Rafendi menilai, pernyataan Tedjo telah memperburuk citra Indonesia di mata internasional. "Orang mengatakan, Indonesia seperti 'haus darah', setiap bulan eksekusi orang, ditambah statement ini dari pejabat. Kami tentu prihatin dengar pemerintah yang membawa citra negatif bagi Indonesia," kata dia.
Ia mengatakan bahwa masalah pencari suaka merupakan tanggung jawab dunia, termasuk Indonesia. Hingga saat ini, terdapat kurang lebih 10.000 pencari suaka yang terdampar di Indonesia. Dari 10.000 orang tersebut, 1.000 di antaranya adalah anak-anak. "Ada 500-an anak-anak yang tidak ada orangtuanya adalah kelompok yang paling rentan yang harus diperhatikan sisi-sisi perlindungannya," kata Rafendi.
Oleh karena itu, HRWG meminta Tedjo untuk menarik pernyataannya dan menegaskan bahwa pernyataannya itu tidak mewakili Pemerintah Indonesia. HRWG juga meminta Tedjo meminta maaf atas pernyataannya tersebut.