Karena Pernikahan Bukan Fantasi ‘Pengantar Tidur Anak’
Sumber: Google

Marriage / 27 January 2015

Kalangan Sendiri

Karena Pernikahan Bukan Fantasi ‘Pengantar Tidur Anak’

Theresia Karo Karo Official Writer
5075
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Beberapa penyebabnya antara lain ciri fisik, kepandaian, pengetahuan adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Karena setiap individu membawa ciri-ciri pribadi dalam interaksi sosial, sehingga konflik dianggap wajar dalam tatanan masyarakat.

Siklus ini pula yang terjadi dalam pernikahan. Tidak ada satupun individu yang tidak pernah mengalami konflik. Menurut Norman Wright dan M. Inmon, masa konflik dalam pernikahan terbagi dalam dua fase:

Fase Dilusi
Pada fase ini pasangan biasanya mulai sadar bahwa kenyataan hidup lain dengan yang ada dalam cerita pengantar tidur anak-anak. Pasangan yang mereka impikan sebelum menikah ternyata tidak seperti yang mereka harapkan. Sehingga menimbulkan perasaan bersalah, frustasi, dan kecewa.

Pada fase ini pasangan berusaha untuk mendapatkan keinginannya dengan mengubah dan membentuk pasangannya menjadi seperti yang mereka kehendaki. Akan tetapi cepat atau lambat mereka sadar bahwa tidak mudah mengubah pasangannya. Hingga mereka memasuki fase berikutnya yakni fase putus asa atau beralih ke fase dewasa.

Fase Putus Asa
Karena tidak kunjung mendapatkan apa yang diinginkan, pasangan mulai digerogoti perasaan putus asa. Suami tidak pernah menjadi pangeran tampan berkuda putih dan istri tidak akan menjadi secantik, atau sesabar Cinderella.
 
Berbagai cara sudah dicoba, mulai dari merayu, meminta, menangis, mengancam, mengomeli, memaksa, mengacuhkan hingga menghina. Bukannya berubah, pasangan cenderung dirasa semakin melawan, keras kepala, dan menentang keinginan anda.

Dari sinilah maka kebencian perlahan akan muncul. Sehingga dalam kehidupan rumah tangga, pasangan akan kehilangan rasa hormat, dan hinaan menjadi hal yang biasa. Kedua terjebak dalam neraka dunia, yang penuh dengan kepahitan dan mulai kehilangan harapan. Hingga membentuk pemikiran bahwa ini sudah nasibnya. ‘Nasi sudah menjadi bubur’, sudah tidak bisa lagi diperbaiki.

Konflik ini bisa terjadi dalam waktu singkat, karena keduanya menghadapinya secara dewasa. Namun bila dibiarkan berlarut hingga tahunan, maka dalam diperlukan kehadiran seorang konselor yang menyadarkan mereka akan ilusinya dan mengarahkan mereka pada kedewasaan.

Bila berhasil melewati konflik maka pasangan menilah akan memasuki masa dewasa. Masa dewasa adalah saat keduanya menemukan tujuan dari pernikahan. Ini merupakan moment pasangan menikah dapat saling menerima pasangan mereka, dengan semua kekurangan dan kelebihan yang ada padanya. Keduanya bertumbuh bersama dan bergandengan tangan menuju kedewasaan.

Karena pernikahan bukan fantasi pengantar tidur semata, wajar bila pasangan menikah berkonflik. Tidak perlu merasa aneh, karena bukan hanya anda yang mengalaminya, semua pasangan menikah merasakannya. Dengan ini kita menjadi tahu adanya masa-masa ini, sehingga tidak terkejut dan putus asa saat berkonflik usai bulan madu berakhir.

Sumber : Two Become One/Jawaban.com by tk
Halaman :
1

Ikuti Kami