Setiap Kali Bertemu Ayah, Saat Itulah Matius Dihukum
Sumber: jawaban.com

Family / 12 May 2014

Kalangan Sendiri

Setiap Kali Bertemu Ayah, Saat Itulah Matius Dihukum

Lois Official Writer
13261
Matius Stefanus selalu bermasalah dengan orangtuanya, terutama sang ayah. Pikiran yang tertanam di dalam diri Matius kecil adalah jika bertemu sang ayah, maka itulah saatnya dia dihukum. “Setelah mendapat kabar dari mama tentang kesalahan yang saya lakukan, saat itu dengan segera papa langsung memukuli saya dengan mengatakan, ‘Terus ya berbuat nakal, dasar anak nakal, dasar anak nyusahin orangtua.’” ujar Matius sambil meniru perkataan ayahnya.

Setelah dipukul, Matius diseret ke kamar mandi. Itu kenangan pahit yang membekas di hatinya, yang membuatnya benci pada papanya. Sampai-sampai dia bertekad akan membunuh papanya.

Kebenciannya dia lampiaskan di sekolah. Kelas 5 atau 6 SD dia sudah tawuran, berlanjut sampai di SMP bahkan dia lebih nakal lagi. Dia memilih bergaul di luar. “Ada satu kesenangan memacu motor saya begitu kencang di luar. Saat adrenalin itu memuncak, seperti ada kepuasan tersendiri. Dan untuk sesaat, sepertinya saya bisa melupakan semua masalah yang saya miliki.”

Teman-temannya juga membuatnya merasa diterima, melebihi papa dan mamanya. Tidak ada peraturan yang membebaninya, namun hubungannya dengan orangtua pun semakin renggang. Dia selalu dibandingkan dengan kakak perempuannya. Semakin renggang, semakin Matius mencari sensasi di luar rumahnya.

Jika ada orang yang memandanginya selama 2 detik saja, dia akan merasa direndahkan. Hal itu membuatnya memukuli orang tersebut yang kemudian dia buang di tempat sampah dalam keadaan babak belur. Dia juga melampiaskannya kepada teman-teman sekolah dengan cara yang sama seperti yang papanya lakukan.

Kesalahan fatal kemudian terjadi. Matius bolos sekolah sehingga diskors. Orangtuanya yang diberitahu pun menegurnya. Matius yang selama ini merasa sudah kuat, karena selama berkelahi tidak pernah kalah, mulai melawan sang ayah. Dia pun diusir dari rumah.

Beberapa hari lamanya dia tidur di jalanan. Suatu hari, ingatannya akan masa lalu mengusiknya, ketika dia berulangtahun dan dirayakan. “Karena malam itu malam ulangtahun saya, saya kira saya akan diberikan surprise dari sang ayah. Malam itu saya pulang ke rumah, tapi saya malah mendapat makian dari papa saya.”. Malam itu juga, hubungan ayah dan anak putus.

Matius lari ke kamarnya. Di dalam situ dia melihat gambar Yesus. Gambar itu kemudian dia banting, dia pukul sekencang-kencangnya, dia injak, serta dia ludahi. Tidak hanya itu, diapun memaki-maki Tuhan. “Kalau kamu Tuhan, kenapa kamu taruh aku di keluarga seperti ini, keluarga yang sama sekali ga sayang sama aku,” ujar Matius waktu itu.

Tiga bulan kemudian, 31 Agustus 2003, Matius bertemu dengan temannya yang kebetulan hendak ke gereja. Bensin motornya habis sehingga mereka pun hendak membeli bensin dengan motor Matius. Sang teman yang mengemudikan motor tersebut, sangat ugal-ugalan. Ketika dia hendak menyelip angkot, tiba-tiba dari arah berlawanan ada mobil. “Karena kaget, dia langsung ngerem mendadak. Setelah rem mendadak, saya langsung terlempar ke jalanan. Setelah itu saya tak sadarkan diri,” cerita Matius.

Tidak hanya jatuh dari motor, ternyata kaki Matius juga tergilas oleh mobil. Keluarganya kaget ketika mendapat telepon dari teman Matius tersebut. Sang ibu hanya bisa menjerit meminta pertolongan pada Yesus. “Melihat kondisinya seperti itu, kondisi saya sebagai ayah, sangat-sangat hancur hati saya.” Ujar sang ayah. Namun itulah pertama kalinya sang ayah merasa dia ingin dekat dengan Tuhan lebih lagi.

“Di ICU inilah tempat pertama hidup saya berubah selamanya, karena di ICU inilah tempat saya bertemu Tuhan Yesus secara pribadi. Saya seperti berada di sebuah padang rumput yang sangat indah, tapi anehnya saya seperti seorang anak kecil yang berlarian kesana kemari. Pada saat saya berjalan dan berjalan, saya bertemu dengan seseorang yang menatap saya dengan lembut. Saya yakin itu adalah Tuhan Yesus. Tuhan Yesus menggandeng tangan saya dan kita berjalan di taman itu.”

Pada saat berjalan, Matius melihat sekumpulan orang mengelilingi peti. Ternyata mereka adalah para sanak keluarganya. Lebih kaget lagi ketika dia melihat siapa yang ada di dalam peti itu, yaitu dirinya sendiri. Diapun bertanya pada Yesus.

“Kamu sudah mati, kamu tidak berkuasa lagi atas hidupmu. Karena mulai hari ini, hidupmu adalah milik-Ku.” jawab Yesus.

“Namun ketika saya sadar, saya melihat papa saya. Dia mengusap-usap dahi saya dan mencium kening saya. Lalu papa saya berkata bahwa, ‘Yang kuat ya, papa sayang sama kamu.’ Dan satu perkataan sayang dari papa itu, sanggup mengubahkan kebencian di dalam hati saya.” ujar Matius.

Meskipun sudah berusaha semaksimal mungkin, Matius mendapatkan vonis lumpuh. “Pada saat saya menghadapi vonis lumpuh itu, saya merasa tak ada lagi masa depan, ga ada lagi pengharapan, ga ada lagi tujuan saya hidup. Semua mimpi dan cita-cita saya sepertinya sudah menghilang. Setelah saya lumpuh, saya kesepian karena semua teman meninggalkan saya. Hampir setiap hari saya sakit, setiap hari menggigil kedinginan. Badan saya bisa panas 41, 41.5, bahkan pernah 41.8 (derajat celcius) sampai saya muntah-muntah darah.”

Kejadian itu membuatnya merasa Tuhan tak adil buatnya. “Tapi setiap kali saya protes sama Tuhan, saat itu juga seperti ada film yang diputer di kepala saya, kejadian kata-kata Tuhan yang Tuhan ucapkan kepada saya saat saya di ICU.” Ujarnya.

“Mendengar kata-kata Tuhan itu lagi, seperti ada kekuatan dan membuat saya bertahan,” ceritanya lagi. Saat dia merasa sangat bosan di dalam kamarnya, saat itulah dia menjadi rendah hati. Dia pun mulai membaca Alkitab, bersaat teduh, memuji dan menyembah Tuhan.

Firman Tuhanlah yang mengubahkan paradigmanya yang salah, bahkan dia pun meminta maaf kepada ayahnya. “Pa, aku minta maaf ya. Selama ini aku yang salah, aku yang kurang ajar pada papa, selama ini aku yang ga pernah nurut apa yang papa ingin. Selalu melawan dengan aturan-aturan papa.” Saat itu, Matius memeluk dan mencium papanya.

Saat ini, hubungan mereka dipulihkan. Mereka sudah seperti sahabat. Meskipun masih ada cekcok, Matius sekarang bisa memandang ayahnya dengan rasa hormat.

“Saya sebagai ayahnya, mengasihi dia. Apapun kondisinya dia, apapun keadaannya dia,” ujar Sentoso, sang ayah".

Sumber : Matius Stefanus
Halaman :
1

Ikuti Kami