Sayangnya, rencana itu mendapat protes dari sejumlah lembaga dan partai politik di negara sengketa itu. Sejumlah pihak berpendapat undang-undang itu akan merusak demokrasi Israel dan memicu timbulnya rasisme berbau agama terhadap sebanyak 20 persen warga Arab yang tinggal di Israel.
“Jika usulan tersebut disepakati, maka akan terjadi institusionalisasi rasisme, yang sudah menjadi realitas keseharian baik dalam undang-undang maupun di jantung sistem politik,” kata Kepala Lembaga Keadilan untuk Minoritas Arab di Israel, Majd Kayyal, seperti dilansir Liputan6.com, Minggu (23/11).
“Demokrasi seharusnya menjamin hak yang sama bagi semua warga negara dihadapan hukum negara, namun perubahan rasis ini memasukkan perbedaan perlakuan berdasarkan agama,” lanjutnya.
Sedang kritikan lain dilontarkan oleh Pemimpin Partai Yair Lapid yang beraliran liberal, Yesh Atid. Ia berpendapat pemberlakuan UU itu akan menjadikan Israel sebagai negara totalitarian. “UU itu jelas anti-demokrasi, kami akan maksimal berupaya menggagalkan rencana Netanyahu,” tandas Lapid.
Sementara dukungan Netanyahu terhadap RUU ini dipandang penting untuk menjunjung tinggi hak-hak individu seluruh warga Israel tetapi hanya penganut Yahudi yang berhak menentukan nasibnya sendiri di tanah kelahirannya.
Kendati telah disetujui, namun belum berarti RUU ini telah sah berlaku. Sebab masih membutuhkan persetujuan dari jajaran parlemen Israel.
Sumber : Liputan6.com/Voaindonesia.com/ls