Cita-citanya ingin mengabdi pada negara dibuktikan saat dirinya masuk sebagai tentara setelah lulus dari sekolah menengah. Martinez tampak begitu bangga, karena baginya menjadi tentara adalah jalan untuk berkontribusi bagi negara yang telah memberi banyak hal kepadanya dan keluarga.
Pada September 2002, Martinez terdaftar menjadi Angkatan Darat dan menjalani Perlatihan Dasar dan Lanjutan di Fort Benning, Georgia. Ia pun lulus dan ditugaskan dalam Kerja Khusus Militer (MOS) dari 11B (infantryman). Satu tahun kemudian, ia dikirim ke Timur Tengah. Setelah dua bulan berada di sana, suatu hari Martinez mengemudi Humvee bersama dengan keempat rekannya di Karbala. Tiba-tiba ban depan kirinya menabrak ranjau yang terpasang di jalan. Boom! Mobil meledak. Ketiga rekannya segera melompat dari mobil, sementara Martinez terperangkap di dalam. Ketika itu, ia merasakan panas yang membakar sekujur tubuhnya dan mencoba berteriak meminta pertolongan. “Tuhan. Tolong aku!” ujarnya sembari menjerit.
Hampir 40 persen tubuhnya mengalami luka bakar parah. Tiga minggu setelah kejadian, dirinya lalu dirawat di Brooke Army Medical Centre di San Antonio, Texas. Sang ibu pun senantiasa setia menjagai Martinez dengan penuh cinta. Namun rasa gusar tetap masih tampak di wajahnya.
Minggu pertama perawatan, Martinez bahkan belum menyaksikan rupa luka bakar yang dirasakannya saat itu. Wajahnya yang penuh luka bakar parah memerlukan operasi cangkokan. Sementara telinga kiri dan kanan yang sudah rusak parah.
Lima minggu dirawat tanpa mengetahui rupa wajahnya yang entah bagaimana, meminta agar dokter mengijinkannya bercermin. Namun dokter masih menahannya untuk itu. Merasa tak tahan dengan kondisi itu, dirinya mulai merasa frustrasi. Ia berpikir dalam hati, “Akankah aku harus hidup dengan kondisi seperti ini selama sisa hidupku. Aku bisa mulai belajar sekarang”.
Suatu hari, dokter mengijinkannya bercermin. Dokter duduk disamping Martinez, dan menyodorkan cermin ke hadapannya. Saat itu menjadi masa terberat menerima kenyataan bahwa seluruh sisi wajahnya penuh dengan luka, tampak daging berwarna merah yang dipoles dengan bercak-bercak merah. Telinga kirinya berlubang. Mata merosot dan alisnya gundul.
Hatinya begitu terpukul dan segera menangis terisak-isak. Ia tak mengenali lagi wajah di depan cermin yang tampak seperti pemain film horror menatap ke arahnya. Kendati dokter berupaya meyakinkan Martinez bahwa kondisi fisiknya akan membaik dengan operasi cangkokan, ia tetap diam seribu bahasa.
Empat hari setelah itu, Martinez hanya mampu berbaring di tempat tidur. Tidak makan dan diam, seperti tak ingin lagi hidup lebih lama. Di sisi lain, ibu, orang tua tunggal yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang dan perjuangan terus menemaninya.
“Aku memejamkan mata, mencoba untuk menutup gambar memuakkan dari wajahku, menutup dunia. Tetapi doanya (ibu) menerobos hatiku: Tetap bersama dengan anak ku. Hibur dia Tuhan. Kami tahu Engkau merasakan sakitnya. Kuatkan dia. Beri dia keberanian,” ucap ibu Martinez dalam doa.
Sang ibu terus mengingatkannya agar tetap teguh dalam iman. Sebab iman menambah kekuatan melalui beban berat itu. Sang ibu mengisahkan tentang masa sulit yang ia lewati saat perang El Salvador, tragedi mengerikan yang merenggut nyawa sang kakak Anabel. “Tuhan menunjukkanku tujuan hidup yang lain. Ia punya tujuan bagimu juga. Kamu diciptakan Tuhan seperti adanya kamu. Orang-orang dalam hidupmu akan tetap ada memandang sebagaimana dirimu, bukan karena bagaimana kamu terlihat”.
Ucapan itulah ibarat settitik air di tengah padang gurun. Martinez perlahan mulai meyakini bahwa ada tujuan baik di balik insiden yang dialaminya. Ia mulai berkomunikasi dengan Tuhan, dan siap menjalani proses perawatan dan operasi. “Aku tahu, aku bertahan karena satu alasan. Tuhan membawaku merasakan sakit ini, dan menunjukkan alasan itu”.
Sejak itu pula Martinez dipercayakan menjadi inspirator bagi para pasien yang mengalami insiden serupa seperti yang dialaminya. Hingga hampir tiga tahun dirawat di Brooke, ia dinyatakan pulih setelah menjalani 33 kali operasi.
Tak lama setelah itu, Martinez membangun kembali masa depannya. Mencoba peran sebagai aktor opera, motivator hingga menjadi penulis buku best seller New York Times berjudul ‘Full of Heart: My Story of Survival, Strength and Spirit’.
Sumber : Huffingtonpost.com/jawaban.com/ls