Sebagai seorang anak kecil, Raymond hanya mampu menangis dan menyaksikan tubuh sang ayah yang tergeletak tak bernyawa dalam kondisi luka hantaman senjata tajam yang di bagian kepala hingga tubuhnya.
“Perasaan saya sudah gelap, nggak akan jadi apa-apa di masa depan. Karena selama ini yang saya tahu bahwa bapak saya pegang kendala untuk semua usaha yang ada. Dan kalau beliau tidak ada siapa yang urus semua itu,” terang Raymond.
Luka dan kebencian masih tetap melekat kuat di hati Raymond. Kekhawatiran akan masa depan pun menyelimuti hatinya karena pasti tak akan mampu menjadi apa-apa tanpa sang ayah sebagai tulang punggung keluarga. Namun bak pintu harapan yang terbuka lebar di depan mata, mereka ditawari tinggal bersama dengan keluarga di Belanda. Seperti sebuah mimpi, Raymond dengan sukacita mempersiapkan segala sesuatunya. Ia berpikir bahwa cita-cita tinggal di negeri Belanda, yang sempat diucapkannya kepada sang ayah akan segera terwujud. “Saya berpikir kalau sempat jadi ke Belanda, enak sekali. Hidup di Belanda mungkin lambat laun semua dendam bisa hilang. Jadi saya sudah mulai berpikir bahwa biarlah harapan ini jadi kenyataan, saya akan sampai ke sana,” ucapnya.
Namun tanpa disangka, kesempatan yang awalnya terbuka lebar itu ternyata harus berujung pada ketidakpastian janji yang diiming-imingi oleh orang yang dipercayakan sang kakek mengurus segala urusan keberangkatan ke dari Jakarta menuju Belanda. Rencana itu pun sirna seketika waktu, dan mereka hidup dalam keterbatasan saat itu di ibu kota.
Ketika itu pula, dendamnya kembali timbul di hati, dendam mengenang kembali pembunuh sang ayah. Situasi itu memaksa Raymond melakukan berbagai hal yang ia tak pernah lakukan sebelumnya di rumah. Untuk melanjutkan sekolahnya, Raymond pun ditawari tinggal di rumah seorang wanita yang mau membiayai sekolahnya.
Saat itulah Raymond mengalami kehidupan yang bertolak belakang dengan ketika sang ayah masih hidup; memanjakannya dengan segala kebutuhan yang tersedia. “Apa yang saya harus kerjakan saya kerjakan dulu, karena di Ambon dulu saya dimanja. Karena semua fasilitas ada, ada orang banyak bantu di rumah,” tuturnya.
Selama bertahun-tahun sudah, kebencian kepada pembunuh sang ayah masih terus menggeliat di dalam hatinya. Namun Tuhan membuka jalan baru bagi Raymond dan masa depannya lewat satu pesan firman Alkitab yang mampu membebaskannya dari ikatan kebencian. Tak mudah mengikis dendam, namun Tuhan mengajarkan tentang mengasihi musuh. “Dalam Roma 12 ayat 19b itu di bagian akhirnya dikatakan: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan”.
Pesan itu berulang kali mengingatkannya hingga di satu titik, Raymond mulai membuka hati dan melepaskan pengampunan. “Ketika pengampunan itu dilepaskan, air mata, kebahagiaan, kelegaan, ada kelepasan surgawi, ada sukacita besar. Ini pekerjaan Tuhan, ini pekerjaan Roh kudus, ini pekerjaan firman yang benihnya sudah ditanamkan”.
Raymond mengaku bahwa kasih Yesus yang membawa perubahan dan kebahagiaan dalam kehidupannya hingga saat ini.
Sumber : Raymond Mahulette