Padahal, salah satu pondasi kuatnya sebuah pernikahan berasal dari topangan doa. Doa mampu membangun keintiman spiritual antara suami dan istri. Doa juga menjadi salah satu jalan pemulihan konflik dalam rumah tangga.
Lazimnya, pasangan tak lagi membangun doa yang intim secara bersama-sama dihadapan Tuhan karena menganggap diri tak layak, merasa enggan dan tak berinisiatif. Alkitab mungkin mencatat tentang sejumlah pasangan yang tidak membangun relasi yang baik bersama-sama dengan Tuhan. Hal ini dialami oleh Abraham saat istrinya Sara tak percaya akan mengandung di masa tuanya. Sikap Sara mengharuskan Abraham untuk tidak melibatkan orang yang dikasihinya itu dalam doa ([kitab]Kejad18:1-33[/kitab]). Kisah lainnya juga tercatat seperti istri Lot yang tidak menaati perintah Tuhan dengan benar ([kitab]Kejad19:1-29[/kitab]). Demikian pula dengan Ishak yang berdoa secara pribadi bagi istrinya ([kitab]Kejad25:21[/kitab]).
Para tokoh Alkitab ini disebutkan terpaksa berdoa sendiri lantaran kondisi pasangannya. Kondisi ini bukanlah yang diharapkan Tuhan dalam sebuah pernikahan. Idealnya, Tuhan berharap agar suami/istri sama-sama memiliki iman yang setara dan digerakkan untuk tunduk di bawah otoritas Tuhan. Pasangan harus bertumbuh dalam iman yang sama dan secara bersama-sama menghadap hadirat Tuhan secara teratur setiap hari. Tuhan hendak membangun keintiman dalam pernikahan yang mengarah pada keintiman bersama dengan Tuhan.
Fatalnya, kebiasaan berdoa bersama pasangan adalah hal yang telah lama hilang di tengah kehidupan pernikahan. Untuk mengembalikan hal itu, diperlukan usaha dan upaya dari masing-masing pasangan, diperlukan komitmen untuk bertumbuh bersama dalam membangun keluarga yang berkenan dan diberkati Tuhan dalam segala aspek kehidupan.
Sumber : Crosswalk.com/jawaban.com/ls