Untuk dapat menikah, Tugiris bekerja keras mengumpulkan uang sebagai tukang jahit. Dia berharap jika tabungannya sudah cukup, baru Tugiris akan melamar kekasihnya, Ani. “Pada saat itu, saya betul-betul cinta sampai mati sehingga tiada hari tanpa bertemu dengan dia. Istilahnya dunia itu milik berdua. Memang betul saya menjalani peristiwa itu.” Ujar Tugiris bercerita.
Suatu hari, Ani yang merantau itu diminta pulang oleh orangtuanya. Tugiris pun ikut serta karena bermaksud memperkenalkan diri kepada calon mertua dan memberanikan diri bertemu dengan sang ayah Ani yang merupakan mantan tentara. “Saya tidak menyangka kalau orangtua Ani itu akan melarang saya berhubungan dengan Ani.” Ayah Ani mengatakan bahwa Ani sudah ada yang melamar bahkan mengancam Tugiris agar tidak dekat-dekat dengan anaknya.
“Jadi karena saya sudah ditolak sama orangtua Ani, saya tidak lagi semangat kerja. Dari situ saya penasaran. Benarkah Ani ini sudah dilamar orang. Jadi setiap hari saya tungguin dia (Ani) keluar dari gang (hanya untuk melihatnya),” ujar Tugiris.
Karena pusing dengan masalah cintanya, Tugiris sering curhat ke temannya. Temannya kemudian menyarankan untuk menghabisi sang ayah dengan celurit. “Sebenarnya di dalam hati saya ada keraguan. Tapi karena ada ancaman dari orangtua Ani, maka saya jadi semakin bertekad bulat.”
Pada hari yang sudah ditentukan, Tugiris membawa celurit di dalam sebuah map. Dia lalu datang ke rumahnya. Karena gelap mata, Tugiris tidak punya rasa takut dan pada akhirnya dia melakukan niat jahatnya.
Setelah itu, Tugiris langsung lari ke sebuah gedung, dia meminta satpam yang ada di sana untuk menelepon polisi dan dia pun menunggu di atap gedung. “Celurit yang ada darahnya itu, saya lapkan ke celana saya. Setengah jam kemudian, saya menyerahkan diri kepada polisi dan polisi menangkap saya. Saya dibawa ke kantor polisi, lalu saya diproses.” Pada 29 April 1996, Tugiris dijatuhi hukuman 12 tahun penjara karena melanggar pasal 340.
Ternyata yang dia bunuh bukanlah orangtua Ani tapi malah Ani sendiri. Dia bertekad tidak ada orang lain yang boleh memiliki Ani. Teriakan Ani tidaklah menyebabkan dia berhenti, tapi dia malah makin gelap mata dan mengayunkan celuritnya ke leher Ani. Maka pembunuhan itupun terjadi dan itulah yang menghantuinya di penjara. Ditambah lagi, keadaan di penjara yang buruk.
“Pada saat itu saya sadar, saya telah membunuh seseorang. Apalagi seseorang yang terbunuh adalah orang yang pernah dekat dengan saya. Setelah dikurung 12 tahun, kondisi di dalam penjara itu sungguh menakutkan. Membuat saya jadi stress, sehingga saya merasa tidak ada harapan lagi masa depan saya. Karena 12 tahun di penjara itu menurut saya lama sekali.”
Tugiris melihat berbagai kejadian mengerikan di dalam penjara. Ada pemukulan, ada yang diperas, dan itulah yang membuat Tugiris stress dan tak sanggup menjalani kehidupan di dalam penjara. Di dalam penjara juga, Tugiris pernah sakit kakinya sampai 1 bulan tidak bisa berjalan. Untuk merangkak ke kamar mandi pun diperlukan usaha yang luar biasa.
Pada saat itulah, Tugiris meminta ampun kepada Tuhan. “Saya minta ampun, kalau memang di penjara inilah akhir hidup saya.”
“Ternyata Tuhan mendengarkan dan memberikan kesempatan kepada saya. Saya dipulihkan dari sakit itu. Selama di dalam penjara, saya terus merenungi dan menyesali atas segala perbuatan saya. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga korban, khususnya kepada orangtua Ani. Selama 6 tahun dalam penjara, itu cukup untuk membentuk hidup saya. Baik secara rohani maupun dalam kehidupan saya, sehingga saya tahu mana yang salah, mana yang benar.”
Karena berkelakuan baik, Tugiris hanya dipenjara selama 7 tahun. “Kalau bukan karena kebaikan Tuhan di dalam hidup saya, saya mungkin sudah mati. Dari mulai melayani petugas, dari mulai siksaan yang diterima teman-teman saya, saya pun tidak mengalami.”
Tugiris merasa bersyukur karena setelah dibebaskan dari penjara, diapun diterima dalam lingkungan masyarakat. “Kalau kita namanya keluarga ya, kita ga ada rasa takut. Kitakan harus saling mengasihi,” ujar kakak Tugiris, Rumningsih.
“Saya mengerti sekarang, kalau saya dulu pernah luka batin, sakit hati, tapi saya tidak mencari obatnya kepada Tuhan. Malah saya mencari obatnya dengan akal saya sendiri. Saya bercerita kepada orang, maka akhirnya saya jadinya salah dan saya jadi pembunuh. Kalau andaikata dulu saya mencari obatnya kepada Tuhan, saya tidak akan ada dalam penjara.
Kalau nanti saya nanti menderita sakit hati dan luka batin, saya tidak mau melakukan tindakan bodoh lagi. Saya hanya akan berserah kepada Tuhan, karena dengan penyerahan kepada Tuhan saya mendapatkan kedamaian dan ketenangan.”
Pada 7 September 2006, Tugiris menikah dan punya kehidupan yang bahagia. “Sekali ini saya akan menjalani kehidupan saya bersama sang istri, meskipun saya hanya sebagai tukang ojeg tapi akan saya jalani dengan penuh kedamaian karena pernyertaan Tuhan yang sekarang saya rasakan.”
Sumber Kesaksian :
Tugiris
Sumber : V140909113613Severity: Notice
Message: Trying to get property 'name' of non-object
Filename: read/index.php
Line Number: 156
Severity: Notice
Message: Trying to get property 'name' of non-object
Filename: read/index.php
Line Number: 156