Masyarakat kita di zaman ini sepertinya lebih menghargai orang yang tegas, agresif, dan siap melakukan apapun demi meraih tujuannya—kalau perlu sampai menyikut sesamanya. Banyak orang, termasuk umat Kristen, menganggap sikap rendah hati justru perlu dihindari karena berpotensi dimanfaatkan dan dikendalikan oleh orang lain.
Tetapi coba kita lihat teladan Yesus. Dia adalah Pribadi yang lemah lembut dan rendah hati, namun meskipun begitu Dia berkuasa atas segalanya. Mari kita bayangkan kembali saat Dia ditangkap di Taman Getsemani. Di tengah suasana penuh kekacauan dan kemarahan, salah satu murid Yesus mencabut pedangnya dan memotong telinga salah seorang hamba Imam Besar yang menangkap Yesus.
Tanpa diduga, dengan penuh belas kasihan disertai pengendalian diri dan kelemahlembutan Yesus segera menyembuhkan telinga si prajurit, kemudian menegur murid-Nya. Yesus menyadari bahwa Dia tidak perlu melawan atau mempertahankan kehendak-Nya dalam situasi tersebut. Yesus bersedia merendahkan diri-Nya, menundukkan diri pada otoritas—bersedia mengorbankan diri-Nya di kayu salib.
Yang membuat saya terkagum-kagum adalah kenyataan bahwa Yesus sebenarnya bisa melawan, tetapi Dia tidak melakukannya. Dengan kuasa yang Dia miliki, Yesus bisa saja memanggil para malaikat guna melakukan aksi penyelamatan yang dramatis. Tindakan Yesus menyerahkan diri-Nya bukan menandakan Dia lemah. Sebaliknya, itu menunjukkan kelemahlembutan Yesus. Kelemahlembutan adalah kekuatan yang dikendalikan dan ditunjukkan dalam kerendahan hati.
Apa itu rendah hati? Rendah hati adalah ketiadaan kesombongan dan keangkuhan. Rendah hati adalah ketika kita mengukur diri dengan penilaian yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Kita tidak menganggap remeh diri kita namun juga tidak merasa puas diri secara berlebihan. Rendah hati bukan berarti kita merendahkan diri, melainkan tidak mengagung-agungkan diri. Rendah hati berarti kita menyadari kekurangan kita. Ketika kita memahami bahwa kita pun bisa gagal, maka kita akan memperlakukan orang lain dengan lebih baik. Kerendahan hati adalah bukti kelemahlembutan, bukan kelemahan!
Dalam Galatia 5:22-23, Rasul Paulus menjelaskan tentang buah-buah Roh:
Tetapi kalau Roh Kudus memimpin hidup kita akan terbukti melalui kita saling mengasihi, bersukacita, hidup damai, sabar dalam kesusahan, bermurah hati, menolong sesama, menepati janji, lemah lembut, dan bisa menguasai diri sendiri. Memang, hal-hal seperti itu tidak dilarang dalam Hukum Taurat! (Terjemahan Sederhana Indonesia/TSI)
Paulus memberitahu kita bahwa ‘kelemahlembutan’ (atau ‘rendah hati’ dalam terjemahan lain) adalah buah Roh, jadi karakter ini seharusnya terdapat dalam diri kita kalau kita mengaku sebagai pengikut Kristus. Sebagaimana halnya dengan pohon atau tumbuhan, siapa diri kita yang sesungguhnya bukan ditentukan dari talenta yang dimiliki, namun dari buah-buah Roh yang dihasilkan.
Kalau kita memotret seseorang dengan kamera, fotonya akan tersimpan dalam film di dalam kamera tersebut. Kita tidak bisa melihat (mencetak) hasilnya sebelum film tersebut diproses di kamar gelap. Demikian juga dalam hidup ini; ‘kamar gelap’ berupa cobaan dan tantangan hidup akan memproses kita sehingga kita mengembangkan buah-buah Roh yang telah Tuhan berikan kepada kita saat menjadi ciptaan baru di dalam Kristus ([kitab]iikor5:17[/kitab]).
Sebagai contoh, ketika kita sombong, kita akan masuk ke ‘kamar gelap’ untuk menerima koreksi dari Tuhan sehingga kerendahan hati kita terbentuk. Ketika kita sombong dan kita menginginkan sesuatu namun itu tidak terjadi sesuai kehendak kita, maka kita cenderung mudah marah. Namun ketika kita merendahkan diri dan mengijinkan kelemahkembutan dari Allah menguasai kita, maka kita akan terbuka terhadap pimpinan-Nya dalam hidup kita.
Tentu saja Tuhan tidak ingin kita menjadi sosok yang lemah dan mudah dimanfaatkan oleh orang lain. Tuhan tidak mau hidup kita dikendalikan oleh orang lain, tetapi Dia ingin kita menjadi pribadi yang lemah lembut. Dia ingin supaya kekuatan kita dikendalikan, dan sebagai gantinya, membiarkan Tuhan yang mengendalikan serta menjaga diri kita.
Sumber:
Joyce Meyer
Sumber : Joyce Meyer | yk