Panggil saja aku Ana dan suamiku Sofyan. Kami bertemu di usia yang sudah tidak muda. Usiaku saat itu 29 tahun, beberapa bulan lagi 30 tahun. Setiap anggota keluarga selalu berusaha mengenalkanku pada seorang pria karena takut aku akan jadi perawan tua. Tetapi, jauh di dalam lubuk hati aku tetap percaya bahwa jodoh sudah disiapkan untukku. Mungkin tidak untuk dipertemukan sekarang, tetapi nanti... pasti!
Sekian kali diperkenalkan, sekian kali pula aku tidak menemukan seseorang yang cocok denganku. Akhirnya aku memilih sendiri, menutup telinga dari orang-orang usil yang selalu menakut-nakutiku soal 'telat nikah' atau menjadi perawan tua.
Rasanya aku sudah kebal dengan pertanyaan, "kapan nikah?" Pacar saja aku tak punya, bagaimana mau menikah, senyumku sinis.
***
Suatu hari, adikku memperkenalkanku pada seorang pria di tempat kerjanya. Namanya Sofyan, usianya berbeda tiga tahun denganku. Tidak lebih tua, tetapi lebih muda.
Aku sempat pesimis, apa kata orang nantinya? Istilah perawan tua dan olok-olokan takut tidak laku tampaknya harus aku hadapi. Pedih, takut, semua bercampur aduk jadi satu dalam benakku. Harus bagaimana aku bersikap?
Tak kusangka ternyata Sofyan berbeda. Ia adalah pria yang sopan, berpikiran maju dan juga punya selera humor yang melelehkan suasana. Ia selalu tahu bagaimana bersikap menyenangkan di depan orang tuaku dan keluargaku. Ia sendiri tampaknya memang dari keluarga yang hangat.
Kami jadi aktif berbincang dan bercerita sejak pertemuan pertama. Mungkin memang adikku sengaja mengenalkannya padaku, dengan tujuan menjodohkanku.
Ia sendiri masih single. Tidak terikat pada siapapun dan punya niatan baik dalam hubungannya denganku.
Hatiku yang tadinya sedingin es batu mulai meleleh. Aku jadi lebih ramah dan merasa nyaman bercerita dengannya hingga larut malam. Hubungan kami semakin dekat dalam waktu tak lebih dari dua bulan. Aku juga sudah diperkenalkan pada keluarganya yang memang hangat dan ramah.
Namun aku masih tak mampu menghilangkan ketakutanku. Benarkah ia adalah jodohku? Bagaimana kalau ia hanya berpura-pura saja?
***
Enam bulan kami berpacaran, Sofyan melamarku. Ia bilang, ia jatuh cinta sejak pertama kali bertemu. Pribadi kami yang saling nyambung satu sama lain mempermudah segala sesuatu. Apalagi usia kami sama-sama matang dan dewasa walaupun berbeda usia, masalah-masalah kecil sudah bukan halangan lagi untuk kami.
Aku merasa bahagia tak terkatakan, namun juga sekaligus ragu. Sekali lagi aku bertanya dalam hati, mungkinkah ia jodohku?
Dengan berbagai cara, Sofyan berusaha meyakinkanku bila ia serius dengan hubungan ini. Bahkan tak hanya Sofyan, orang tuanya dan orang tuaku juga sudah sama-sama setuju. Mereka sendiri yakin bahwa kami adalah pasangan yang cocok, terlepas dari perbedaan usia kami.
Entah apakah aku yang bodoh atau bagaimana. Aku menolaknya.
Aku begitu takut bila ini hanya semu, aku begitu takut dikecewakan. Aku begitu takut bahwa ini adalah hal yang hanya indah di awal saja. Buktinya, seperti tidak ada sebuah halangan apapun, tak ada masalah apapun, masa iya sih semudah itu dia meminangku? Pasti ada apa-apanya... Pikirku kala itu.
Kamipun putus, dengan alasanku yang memang kubuat-buat dan terdengar bodoh. Keluargaku tak bisa memahami keputusan yang kubuat itu. Mereka akhirnya memilih diam sebagai tanda kekecewaan padaku.
***
Setahun berpisah dan tidak melanjutkan kontak dengan Sofyan, kami tak sengaja bertemu di sebuah seminar di luar kota. Secara kebetulan perusahaan kami mengirimkan kami ke sana.
Mau tak mau, aku menyapa dan berbasa-basi dengannya. Dan kami mulai ngobrol lagi seperti teman lama yang sudah lama tak bersua. Saling berbagi kerinduan.
Ternyata setahun itu Sofyan memilih sendirian. Ia bercerita bahwa ia benar-benar kecewa dengan jawabanku dulu. Ia yang memang sudah jatuh cinta merasakan kepedihan atas penolakanku. Aku sendiri akhirnya blak-blakan dengan rasa takutku, kekhawatiranku yang memang tak masuk akal. Namun ia bilang, ia bisa memahaminya dengan usiaku dan semua olok-olokan yang pernah kudengar.
Sekali lagi ia meminangku. Kali ini mirip dengan adegan-adegan di film, dengan bertekuk lutut dan ia berjanji tidak akan berdiri bila aku tak menerima pinangannya.
Hatiku kembali luluh. Kali ini mencair. Mencair masuk ke dalam hatinya, dan aku tak akan menolaknya.
Aku mengiyakan pinangannya, membawa pulang kabar baik kepada keluargaku dan keluarganya seusai tugas luar kota itu.
***
Kini pernikahan kami sudah menginjak tahun ke-7. Kami hanya dikaruniai seorang anak saja. Dan sudah bisa ditebak perkataan usil apalagi yang sering kami dengar.
Aku belajar banyak dari kesalahanku di awal pertemuan dengan suamiku. Aku tak akan lagi mendengarkan semua keusilan kata orang yang malah membuat hidupku tak bahagia. Aku tetap bersyukur berapapun anak yang diberikan Tuhan YME padaku. Namanya saja titipan, harus tetap disyukuri. Dan aku bersyukur pada pilihan akhirku, memilih Sofyan sebagai pendamping hidup yang menyempurnakan kebahagiaanku.
Semoga teman-teman pembaca juga terinspirasi ceritaku. Jangan terlalu memikirkan apa kata orang, pikirkan saja masa depanmu sendiri. Dan tetaplah percaya, kalau jodoh tak akan ke mana.
Baca juga :
Surat dari Gadis 15 Tahun Untuk Ayahnya
Pacaran dengan Visi Misi yang Benar
Otak Tiba-Tiba Blank? Atasi dengan Ini
Sejarah Kelam Maleficent Jadi Peri Jahat
Sumber : vemale.com by lois ho/jawaban.com