Berbeda dengan saya yang menampakkan dua figur berbeda—hangat dan dingin—istri saya merangkum keduanya dalam satu tubuh atau pribadi. Sewaktu marah, ia tidak kehilangan sisi kehangatannya sehingga anak-anak tetap merasakan bahwa ibu yang tengah memarahinya adalah ibu yang juga menyayanginya. Hal kedua yang membuat anak sukar marah kepadanya sewaktu menerima disiplin adalah di luar pendisiplinan, ia MENJALIN RELASI DENGAN ANAK-ANAK YANG BUKAN SAJA KUAT TETAPI RINGAN. Istilah ringan di sini mengacu kepada 1001 hal yang ringan—tidak serius—yang menjadi bagian hidup sehari-hari.
Istri saya sering bergurau dengan mereka dan acap membicarakan banyak hal yang sepele namun menambah keakraban. Sebaliknya, saya cenderung berbicara dengan anak menyangkut hal yang serius sehingga dapat dikatakan, pembicaraan kami lebih bersifat diskusi.
Hal ketiga yang membuat anak sukar marah kepada istri saya adalah ia MEMBUKA DIRI SELEBAR-LEBARNYA KEPADA ANAK UNTUK MELIHATNYA SEBAGAI SEORANG MANUSIA APA ADANYA. Saya kira pada umumnya wanita lebih nyaman untuk mengekspresikan perasaannya ketimbang pria. Saya perhatikan sewaktu istri menegur anak atau berbicara kepada mereka, dengan alamiah ia dapat memperlihatkan luapan perasaannya, baik itu kekesalan, kesedihan, atau ketakutan. Saya kira keterbukaan ini membuat anak lebih dekat dengannya dan lebih dapat menerima didikan darinya.
Tuhan mengingatkan kita, para bapa, untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas. Kita mesti memberi perhatian yang besar akan hal ini sebab materi yang akan kita ajarkan kepada anak berkaitan erat dengan Tuhan sendiri. Singkat kata, ada potensi yang besar anak mengidentikkan materi dengan si penyampai materi. Akhirnya bukan saja anak tidak suka dengan kita yang mendisiplinnya, anak pun tidak suka dengan materi yang kita ajarkan—yakni tentang Tuhan dan perkataan-Nya. Sewaktu ia menolak kita, ia pun menolak Tuhan yang kita ajarkan kepadanya.
by. Pdt. Dr. Paul Gunadi