Hal pertama tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA TIDAK SUKA BERBASA-BASI. Sewaktu saya menegur anak, yang keluar dari mulut adalah perkataan yang bersifat rasional. Saya menyampaikan apa yang saya lihat sekaligus teguran kepadanya—apa yang seharusnya ia perbuat. Tidak ada kata pembukaan dan tidak ada kata penutup. Semua tertuju langsung pada isi.
Hal kedua tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA MENUNGGU TERLALU LAMA UNTUK MENEGUR MEREKA. Pada umumnya saya membiasakan diri untuk tidak langsung menegur anak sampai ia mengulang perbuatannya beberapa kali. Masalahnya adalah, pada waktu saya menyampaikan teguran, adakalanya emosi marah saya sudah menanjak, mengingat ini adalah kesalahan yang sudah terjadi berulang kali. Akibatnya, nada suara saya cenderung meninggi dan kata-kata yang keluar menjadi lebih tegas. Inilah yang melukai hati mereka.
Hal ketiga tentang diri saya yang berpotensi membangkitkan kemarahan pada anak adalah SAYA TERLALU JAUH MELIHAT ATAU MENGANTISIPASI KE DEPAN. Oleh karena saya memikirkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi bila mereka terus melakukan kesalahan, bobot teguran saya menjadi lebih berat. Sebagai akibatnya mereka merasa bahwa teguran saya terlalu keras dan menyudutkan mereka.
Sebagai kesimpulan, anak melihat saya sebagai dua pribadi. Di satu pihak mereka melihat saya sebagai figur penyayang yang hangat tetapi di pihak lain mereka melihat saya sebagai figur otoritas yang dingin, kedua sosok ini seakan-akan terpisah dan tidak menyatu dalam satu tubuh.
by. Pdt. Dr. Paul Gunadi