 
				
								
							 
									 
					Sering kita sehabis menghukum, mengancam, atau marah, ada rasa menyesal,  bahwa kita sudah emosi atau sudah berlebihan menghukum anak.  Ini  adalah perasaan yang normal, bahkan perasaan yang benar bagi pendidik  yang memiliki hati bapa.  Jika setelah marah atau menghukum kita justru  ‘puas’, itu namanya ‘ngamuk’ dan  bukan mendidik.
 
Jangan  menghukum/ marah dengan mengatakan; “Papa malu kamu berbuat begitu!”   “Kamu itu merusak martabat keluarga kita” dan hal-hal serupa.  Ini  menunjukkan bahwa sebenarnya fokus kita, yang kita pertahankan dan  kasihi bukanlah si anak, tetapi diri kita sendiri, nama baik kita, nama  marga atau reputasi kita sendiri.  Bahkan mungkin  lebih baik kita  berkata begini; “Papa tidak rugi apa-apa kamu berbuat begitu, tetapi  badanmu yang akan rusak, masa depanmu dan dirimu sendiri, reputasimu  yang hancur kalau kamu begitu!”
 
Kalau kita berkata "kita malu  kalau anak melakukan sesuatu, atau berprestasi buruk", maka kalau anak  kebetulan dalam posisi hati yang memang tidak suka dengan orang tuanya,  dia justru akan berbuat lagi supaya memang orang tuanya menjadi malu. 
 
Saya  pernah mengajak seorang muda yang terlibat narkoba untuk keliling  bersama saya selama beberapa minggu ke Sulawesi.  Saya ajak dia tidur  satu kamar dengan saya.  Setelah beberapa hari, kami membangun hubungan  dan dia mulai terbuka, maka salah satu ‘sharing’nya, kenapa dia  melakukan dan melakukan lagi, bahkan sengaja memakai obat di gereja?  Supaya bapaknya yang ‘diaken’ di gereja menjadi malu, karena dia memang  tidak suka dengan bapaknya, yang terlalu mencintai nama besarnya,  marganya, keluarganya, lebih dari pribadinya.
 
Jadi, ingat  selalu, bahwa saat kita mendidik, saat kita menghukum, maka fokus orang  tua tetap pada anak. Ingatkan bahwa semua itu demi kebaikannya, demi  masa depannya sendiri, bukan demi orang tuanya.
>>>>
by. Ir. Jarot Wijanarko