Seorang gadis berusia 13 tahun, sebut saja namanya Laura, sedang terisak-isak sambil menceritakan perlakuan sang ayah kepadanya. “Dia berteriak-teriak kepadaku,” katanya, “Aku tidak mendengarkannya. Biasanya aku memang tidak suka dimarah-marahi, jadi aku mengabaikan dia.”
Laura berusaha melupakan kemarahan ayahnya, namun air matanya menetes juga. Dia jelas merasa terluka dengan kata-kata ayahnya dan hatinya sakit karena tidak ada harapan untuk berdamai. Terakhir kali Laura dan ayahnya bertemu, Laura mencoba bersikap hormat, bertanggungjawab, dan tetap tenang, tapi usahanya itu tampaknya sia-sia.
Orangtua seringkali kecewa ketika anaknya tidak menuruti perintah mereka. Dari kekecewaan itu, muncul kemarahan dan pemaksaan agar perintah mereka dipenuhi. Namun Laura kurang peka dalam memperhatikan maksud ayahnya karena kemarahan yang dia terima. Bukannya makin baik, kemarahan malah membuat tujuan menjadi tidak tersampaikan.
Allah memberitahu kita di Yakobus 1:20, “Orang yang marah tidak melakukan yang baik, yang menyenangkan hati Allah.” (BIS)
Terkadang, pembicaraan dengan nada tinggi sepertinya bisa membuat kita mencapai apa yang kita inginkan. Harapan kita bisa terkabul; namun dengan timbulnya luapan kemarahan, orang yang mengerjakannya tidak akan memiliki rasa hormat atau kesungguhan hati terhadap kita. Meskipun kita bisa mendapatkan kehendak kita, kemarahan dapat merusak harapan orang lain. Jika ini terjadi pada anak kita, mereka akan kehilangan rasa inisiatif, kepekaan terhadap hal-hal kecil, dan sukacita dalam melayani. Intinya, kemarahan dapat merusak tujuan-tujuan jangka panjang.
Kemarahan juga dapat menghancurkan hubungan. “Ayah bilang dia mencintaiku,” ujar Laura, “tapi aku tidak tahu. Dia tidak bersikap seperti mencintaiku.” Keputusasaan dalam suaranya menunjukkan betapa dia ragu akan kasih sayang ayahnya.
Sebenarnya ayah Laura itu tenang, baik, dan penuh kasih, namun sebuah momen membuat Laura hanya bisa mengingat murka sang ayah. Di satu sisi Laura memang benar. Berteriak, memaki, dan menyalahkan bukanlah sikap yang mencerminkan kasih Allah. Entah itu ditujukan kepada anak, pasangan, keluarga, atau rekan kerja; kemarahan yang meledak-ledak atau diredam tidak mencerminkan kasih. Amarah merusak hubungan yang kita bangun, apalagi jika kita terbiasa lekas marah.
Mengatasi kemarahan
Apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kemarahan? Cara ampuh yang saya temukan adalah dengan kasih—kasih Allah. Suami saya, Robert, menaklukkan kemarahan dengan mempraktekkan kasih. Tuhan senantiasa mengingatkan saya dengan ayat ini:
[Kasih] menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan (1 Korintus 13:7-8a)
Setiap kali ada masalah antara saya dan Robert, saya teringat dengan ayat ini terutama di bagian “menutupi segala sesuatu” dan “menanggung segala sesuatu”. Kemudian saya diingatkan dengan kualitas kasih lainnya:
Kasih itu sabar, kasih itu murah hati… ia tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. (1 Korintus 13:4-5)
Saya menemukan bahwa usaha-usaha saya untuk tetap sabar dan murah hati, serta tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidaklah cukup. Keegoisan telah melemahkan saya. Ketika saya berusaha dengan kekuatan saya sendiri, saya gagal. Namun saya tetap merenungkan makna kasih Allah, memohon pengampunan dari Allah, dan meminta-Nya untuk membangun kualitas-kualitas tersebut dalam diri saya.
Saya menemukan harapan. Kasih Allah tidak pernah gagal. Saat aku lemah, kuat kuasa Allah dinyatakan. Yang harus saya lakukan adalah berserah dan membiarkan Dia mengubah hatiku. Ketika saya terus memperhatikan firman Tuhan, bertobat dari dosa-dosa, dan meminta Allah supaya membentukku menjadi orang yang sabar dan murah hati, maka Dia mengubah saya. Kemarahan saya berkurang dan kualitas-kualitas kasih di atas menjadi semakin alamiah di dalam saya. Saya tidak perlu berusaha terlalu keras.
1 Korintus 13 diakhiri dengan ini:
Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. (ayat 13)
Rasa percaya dan harapan Laura telah runtuh. Mungkin demikian juga dengan ayahnya, yang membiarkan kemarahan terus diluapkan. Namun demikian, kasih—sikap rela berkorban seperti yang dilukiskan 1 Korintus 13—dapat mengalahkan kemarahan, memperbaiki kepercayaan dan harapan, serta memulihkan hubungan mereka.
Oleh: Kay W. Camenisch, penulis studi Alkitab berjudul “Uprooting Anger: Destroying the Monster Within” yang merupakan istri dari seorang pendeta, juga menjadi penginjil di Brazil.
BACA JUGA:
Tak Dominan, Namun PDI-P Unggul di Semua Quick Count
Dibandingkan 2004 dan 2009, Quick Count Pemilu 2014 Berlangsung Lambat
Quick Count Dimulai, Aburizal Bakrie Optimis Golkar Menang
Sumber : Kay W. Camenisch/CBN.com/Jawaban.com