Lord, deliver me from the man who never makes a mistake, and also from the man who makes the same mistake twice.
- William Mayo
Kamu benar-benar merepotkan saya! Kalimat bernada teguran keras itu ditujukan kepada saya oleh seorang senior ketika saya masih baru saja merintis karir sebagai wartawan profesional, belasan tahun silam. Selama beberapa menit kemudian saya diceramahi. Tidak enak memang tapi saya bersyukur sebab saya jadi tahu di mana letak kesalahan saya.
Dikejar deadline membuat para awak media harus berpacu dengan waktu. Saat itu, saya diminta melakukan peliputan mendalam (indepth reporting) atas sebuah kasus. Sebagian laporan saya kirimkan via e-mail. Sebagian lagi via faksimili (karena jaringan internet pada masa itu tidak sebaik saat ini) dan sebagian lagi saya kirimkan melalui paket pos, bersama dengan foto-fotonya. Alhasil, laporan saya berceceran. “Sebagai koki yang harus meramu laporan-laporanmu menjadi satu artikel utuh, saya sangat kebingungan. Mana telurnya, mana bawangnya, mana garamnya,” begitu penjelasan senior saya.
Pengalaman itu kemudian membuat saya bekerja dengan lebih sistematis. Rasanya sejak saat itu, saya tidak lagi mendapatkan teguran karena pekerjaan yang “berceceran”. Teguran senior juga membuat saya berinisiatif membuat database nara sumber secara sistematis sehingga saya lebih mudah mencari jika membutuhkannya. Misalnya, album kartu nama saya buat berdasarkan klasifikasi tertentu. Ada yang untuk birokrat, ada yang untuk akademisi, dst.
Kebiasaan baru mulai terbentuk dan terbawa hingga kini. Di rumah, saya memiliki perpustakaan pribadi yang klasifikasi bukunya saya buat sedemikian rupa. Ada klasifikasi berdasarkan pengarang, ada juga berdasarkan jenis buku. Misalnya buku tentang motivasi, pengembangan diri, spiritual, bisnis, kepemimpinan, dst.
Benar kata Maxwell, pengalaman bukanlah guru yang terbaik karena hanya pengalaman yang dievaluasilah yang bisa menjadi guru terbaik. Pengalaman yang dievaluasi, direfleksikan, dikontemplasikan akan membuat seseorang memperoleh insight dan wisdom. Dan ini hanya bisa terjadi jika seseorang memiliki sikap bisa diajar (teachable).
Pentingnya Sikap Bisa Diajar
Dalam buku Sometimes You Win Sometimes You Learn, John C. Maxwell mengutip sebuah riset yang dilakukan Mark Murphy, pendiri dan CEO Leadership IQ, terhadap 20.000 karyawan baru selama periode 3 tahun. Hasilnya. 46 persen dari mereka gagal dalam waktu 18 bulan pertama masa kerja (dipecat atau memiliki laporan kinerja yang buruk).
Setelah ditelaah lebih jauh, kegagalan tersebut hanya sekitar 10 persen diakibatkan kurangnya kompetensi teknis. Sisanya yang merupakan mayoritas adalah persoalan sikap yang kurang bisa diajar (lack of teachability). Murphy menemukan bahwa 26 persen dari responden memang tidak lagi bisa dilatih (uncoachable).
”They lacked the ability to accept and implement feedback from bosses, colleagues, customers, and others,” tulisnya. Kalau menggunakan bahasa sehari-hari, orang-orang ini susah dikasih tahu, ngeyel atau seenak sendiri.
Beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa yang akan diwisuda menceritakan pengalamannya saat menghadiri sebuah seminar di sebuah kampus besar di Bandung. Dalam sebuah sesi, seorang guru besar mengajukan sebuah pertanyaan dan untuk beberapa saat suasana hening. Tidak seorang pun yang tampak berani mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Tiba-tiba seorang mahasiswa mengangkat tangan. Belum sempat ia menjawab, sang profesor langsung angkat bicara, “Ah, paling jawaban kamu salah!” Mahasiswa ini pun urung memberikan jawabannya. Apa tanggapan Anda atas peristiwa ini?
Memang tidak semua cendekiawan seperti itu dan sebagai seorang akademisi pun, saya terkadang amat prihatin dengan fenomena serupa. Kerap saya mengatakan kepada para mahasiswa di kelas agar mereka bersikap kritis terhadap apa yang diajarkan. Bagi saya, seorang pendidik sebaiknya menjadi mitra belajar bersama-sama dengan muridnya.
Secara pribadi, saya juga tidak mudah percaya jika seorang akademisi mengatakan bahwa ia berpengalaman sebagai dosen sekian puluh tahun. Mengapa? Bisa jadi, itu hanya pengalaman setahun yang diulang puluhan kali. Logikanya sederhana, setiap tahun yang ajarkan hanya bahan yang sama, tidak ada pengembangan bahan atau up date dari penelitian terbaru. Data-data yang digunakan juga cenderung data yang sudah usang. Apalagi –mohon maaf- masih menggunakan slide OHP yang dibuat puluhan tahun silam. Sungguh –mengutip kata Tukul Arwana- mengharukan!
Seorang sahabat yang berkecimpung dalam bisnis tour and travel lebih dari 20 tahun mengatakan bahwa sikap bisa diajar juga sangat diperlukan bagi para tour leader. “Belasan tahun silam kita bisa dengan begitu mudah ‘mengibuli’ atau setidaknya menjawab sekenanya pertanyaan peserta tur tentang sebuah obyek wisata. Sekarang itu tidak bisa. Dengan perkembangan teknologi informasi, mereka bisa langsung membuktikan jawaban tour leader salah. Tinggal tanya ke Om Google,” ujarnya.
Memelihara Sikap Bisa Diajar
Sikap adalah sebuah pilihan. Begitu pun dengan teachability. Seseorang bisa saja berpendapat ia tahu segalanya atau masih banyak yang harus dipelajarinya dalam hidup. Tanpa sikap bisa diajar, kapasitas seseorang tidak akan berkembang dengan baik. Pikiran yang tertutup, alias sok tahu, bisa jadi akan menghalangi seseorang menuju masa depan yang lebih baik. Tidak berlebihan, seorang teman kerap menyindir, “Mind-set, headset, buset! Berhati-hatilah dengan mind-set Anda.”
Maxwell menegaskan, orang yang bisa diajar memiliki pola pikir seorang pemula (teachable people posses a beginner mind-set). Ya, para pemula sadar sepenuhnya bahwa mereka tidak tahu segalanya. Persis kata Shunryu Suzuki, dalam pikiran para pemula ada banyak kemungkinan, namun dalam pikiran para ahli hanya ada sedikit kemungkinan. Itu sebabnya para pemula selalu bertanya, mau mendengarkan dan belajar untuk berubah menjadi lebih baik.
Jika Anda ingin tetap memelihara sikap bisa diajar, usahakanlah Anda memiliki mentor atau orang-orang yang lebih tahu dan lebih berpengalaman dari Anda sehingga Anda selalu memiliki sumber pengetahuan. Miliki orang-orang yang mencintai Anda dan berani jujur memberikan Anda masukan. Miliki juga keberanian untuk bercermin diri, melihat kekurangan, belajar dari kesalahan dan memperbaikinya di kemudian hari.
Bagaimana menurut Anda?
Writer :
Paulus Winarto
Best Selling Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach (John Maxwell Team)
www.pauluswinarto.com