Uang sudah menjadi sangat penting sehingga saat ini hampir tidak ada orang yang dapat membayangkan hidup tanpa uang. Hidup tanpa uang mungkin menjadi lebih menakutkan daripada kematian. Mengapa manusia mencari uang? Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah, “Mengapa uang menjadi fokus hidup seseorang?”
Dari sudut pandang ekonomi, uang adalah hasil perkembangan peradaban manusia karena kebutuhan alat tukar dan standar penilaian yang efektif dan efisien. Sebelum ditemukannya uang, manusia menggunakan sistem barter atau tukar-menukar barang atau komoditas (kebanyakan hasil alam) yang sulit untuk dipindahtempatkan. Penemuan uang ini akhirnya mengakibatkan berkembangnya aktivitas tukar-menukar yang semula hanyalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menjadi usaha tukar-menukar untuk meningkatkan kekayaan (kemampuan beli) melalui usaha pengambilan keuntungan. Fungsi uang pun kemudian berkembang dari hanya sekedar alat tukar menjadi komoditas. Dunia pun akhirnya ‘berputar’ karena uang.
Meskipun demikian, jawaban ekonomis tidaklah menjelaskan mengapa uang yang tadinya hanyalah alat bantu tukar-menukar akhirnya memperoleh posisi yang begitu tinggi—menjadi pusat perhatian dan bahkan pusat kehidupan seseorang. Jawaban sesungguhnya terdapat di dalam Firman Tuhan. Pada awal mula sejarah umat manusia tercatat bahwa manusia ingin menjadi (seperti) Allah yang Mahatahu dan tidak lagi mau diperintah oleh Allah yang benar dan hidup, Sang Khalik alam semesta ([kitab]Kejad3[/kitab]). Seperti daya pikat buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat, uang adalah buah dari pohon peradaban manusia yang diyakini dapat membuat manusia menjadi seperti Allah yang Mahakuasa.
[kitab]iTimo6:10[/kitab] mencatat bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan. Bahkan karena pemburuan akan kekayaan inilah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Ia menjadi orang yang kuatir akan kekuasaannya yang diukur oleh uang. Hatinya menjadi seperti tanah yang bersemak duri ([kitab]Marku4:18-19[/kitab]). Firman Tuhan yang ditabur tidak pernah berbuah karena ia terhimpit oleh keinginan-keinginan dunia.
Karena cinta uang yang didasari oleh keserakahan dan sifat mengingini (covetousness), manusia bertindak tidak adil terhadap sesama manusia agar menjadi tetap atau lebih kaya ([kitab]Matiu16:26[/kitab]). Saudara bahkan membenci dan membunuh sesama saudara demi memperoleh kekayaan yang diperebutkan. Majikan atau pemilik usaha mengeksploitasi pekerja yang dibayarnya tanpa mempedulikan hak-hak mereka. Cinta uang (semakin) merusak relasi manusia dengan Pencipta, sesama, dan alam. Lalu bagaimanakah pandangan yang benar tentang uang, kekayaan, dan keuntungan?
Walaupun sejak penciptaan, manusia diberikan keagungan dan mandat sebagai wakil Sang Pencipta di muka bumi untuk menguasai alam dan ciptaan lainnya ([kitab]Kejad1:28-29[/kitab]), Tuhan juga berkehendak agar manusia bukan hanya mengusahakan (âbad) saja namun juga memelihara (shâmar) alam itu ([kitab]Kejad2:15[/kitab]). Kedua kata kerja atau mandat yang dipakai di sini adalah dua kata yang harmonis dimana terdapat keseimbangan antara pengelolaan dan pencagaran, serta antara kebebasan dan tanggung jawab. Hal ini menempatkan manusia sebagai penatalayan (steward) yang bekerja sebagai bentuk ibadah dan pelayanan mereka kepada Sang Pencipta.
Jelas di sini bahwa uang seharusnya hanyalah alat bantu manusia dalam mengelola bumi untuk kemuliaan Tuhan, kebaikan manusia, dan pemeliharaan alam. Bukan sebaliknya. Betapa seringnya kita membenci Tuhan dan mencintai uang; memperalat manusia dan melayani uang!
Lalu apakah menginginkan kekayaan merupakan suatu dosa? Jawabannya adalah hampir selalu YA! Jika pencarian kekayaan adalah tujuan tunggal dan utama, serta untuk memenuhikenikmatan duniawi, maka sesungguhnya itu adalah pemberhalaan nafsu duniawi manusia. Keinginan seseorang untuk menjadi kaya hampir selalu berasal dari dosa manusia yang tidak ingin tunduk dan bersandar kepada Tuhan. Alkitab juga menulis mereka yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman ([kitab]Amsal28:20[/kitab]). Di [kitab]Amsal 23:4-5[/kitab] juga dituliskan agar kita meninggalkan niat kita untuk menjadi kaya karena kekayaan itu akan lenyap ketika kita masih menginginkannya. Rasul Paulus di suratnya yang pertama kepada Timotius memberikan peringatan yang lebih tajam, “… mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan” ([kitab]iTimo6:9[/kitab]).
Puji syukur, ada kekayaan yang bukanlah hasil dari hati yang berdosa melainkan datangnya dari Tuhan sebagai berkat bagi orang-orang yang Dia perkenan ([kitab]Mazmu112[/kitab], [kitab]Amsal10:22[/kitab], [kitab]Amsal28:20[/kitab]). [kitab]Mazmu112[/kitab] menuliskan bahwa orang-orang ini adalah orang yang takut akan Tuhan dan sangat suka kepada segala perintah Tuhan (ay. 1); mereka adalah orang-orang benar yang mengasihi orang-orang adil (ay. 2); orang yang menaruh belas kasihan dan membantu orang miskin (ay. 3, 9) serta melakukan bisnisnya dengan wajar (ay. 3); dan terakhir, ia adalah orang yang tidak takut dan memiliki kepercayaan penuh kepada Tuhan (ay. 7). Ini semua merupakan karakter dan sikap hati yang sungguh sangat mulia dan patut diteladani. Namun waspadalah apabila kita begitu ingin melakukan ayat ini karena berkat-berkat serta kekayaan yang diterimanya. Jangan-jangan kita lebih berfokus kepada keinginan-keinginan hampa yang mencelakakan dan bukan kepada Tuhan sang pemilik hidup dan sumber kesukaan kita. Sangatlah mudah bagi kita untuk bergeser dari pencarian Sumber Berkat kepada berkat yang dijanjikan.
sumber: Buletin Pillar GRII
BACA JUGA:
Alkitab dan Uang: 10 Tips Finansial Berdasarkan Firman Tuhan
Langkah Jitu Mengalami Terobosan Keuangan dan Bebas Hutang
Stop Kebiasaan Buruk dalam Mengelola Uang!
Lihat Pasanganmu Sebagai Pribadi Unik, Bukan Pengganggu
Sumber : Buletin Pillar GRII | yk