Hanya kehidupan yang terdiri atas kebaikan dan kejujuran yang membuat kita secara spiritual merasa sehat dan manusiawi.
- Harold Kushner
Hidup bersahaja dan selalu berusaha memberikan yang terbaik tampaknya telah menjadi bagian kesehariannya. Ibu Feny –sebut saja begitu- adalah seorang PNS yang telah lebih dari 20 tahun mengabdikan hidupnya di sebuah lembaga pendidikan milik negara. Selain tugas rutin, ia juga diminta menjadi pelaksana teknis kegiatan pembinaan mental (kerohanian) untuk para siswa yang sedang menempuh pendidikan di lembaga tersebut.
Yang menarik tugas tambahan itu sebenarnya bukan datang langsung dari negara melainkan tradisi turun-temurun sejak angkatan-angkatan lama. Para siswa pengurus kerohanian Kristen/ Katolik yang memintanya. Dengan sepenuh hati ia menyambut permintaan itu. “Bagi saya ini adalah sebuah kesempatan untuk melayani Tuhan dan sesama,” ungkap wanita yang juga merupakan aktivis di gerejanya.
Kegiataan pembinaan mental (kerohanian) itu tentu menyita waktu, pikiran dan tenaga yang tidak sedikit. Ia harus mempersiapkan segalanya sebelum acara pembinaan berlangsung. Mulai dari teks berisi liturgi ibadah, mencari pastor atau pendeta yang akan berkhotbah, menyiapkan musik lalu berbagai perlengkapan yang diperlukan, dan sebagainya. Seringkali acara pembinaan berlangsung di luar jam kerja sehingga mau tidak mau ia harus kerja lembur. Setelah acara berakhir, ia masih harus membuat laporan tertulis kepada pimpinan di lembaga tersebut mengenai pelaksanaan kegiatan pembinaan. Melelahkan memang!
Adakah Ibu Feny mendapatkan imbalan tambahan dari negara atas apa yang dilakukannya? Sama sekali tidak! Terkadang, atas pengertian para siswa, mereka mengumpulkan semacam sumbangan sukarela untuk diberikan kepadanya. “Tapi saya tidak berharap, Pak. Tidak diberikan pun saya akan tetap bekerja sepenuh hati.” Wah, sebuah sikap yang tulus dalam melayani.
Sebuah rumus
Hampir setiap orang menyadari pentingnya memberi namun tidak semua orang memiliki sikap yang sama ketika memberi. Saya memiliki sebuah kisah inspiratif dari seorang sahabat tentang hal ini yang ingin saya bagikan kepada Anda.
Menjadi polisi sekaligus instruktur fitnes, itulah AKBP Marinus Marantika Sitepu. Melalui kegiatan olahraga itu ia bisa mendekati masyarakat. “Fitnes adalah salah satu pelayanan masyarakat yang bisa saya lakukan. Selain tubuh kita sehat dan bugar, saya juga bisa menjadi agen Polri untuk memberikan pelayanan prima dan himbauan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Make a difference in my life, Pak!”
Di tengah begitu kuatnya nada pesimistis, Marinus tetap optimis dan yakin bahwa perubahan ke arah yang lebih baik sedang terjadi dalam institusinya. “Saya harus memulainya dari diri sendiri. Prinsip saya, jangan sakiti hati masyarakat”. Alhasil, banyak apresiasi yang kemudian datang kepadanya.
Marinus kemudian memberikan sebuah rumus tentang pemberian. Baginya, pemberian dibagi harapan sama dengan hasil.
Pemberian
_________ = Hasil
Harapan
Jika kita memberi satu dan kita berharap menerima satu maka hasilnya akan satu. Jika kita memberi satu dan berharap mendapatkan dua maka hasilnya adalah setengah (1/2). Sebaliknya, jika kita memberi satu dan kita tidak berharap apa-apa alias nol, maka hasilnya tidak terhingga.
Rumus yang diperoleh dari almarhum ayahnya itu begitu membekas dalam sanubarinya. “Beliau sering bilang, jangan berharap apa pun kalau kita memberi karena hasilnya akan tidak terhingga,” kenangnya akan sang ayah yang berprofesi sebagai tukang roti. Sebuah sikap hati yang luar biasa!
Dalam buku Winning With People, John C. Maxwell menulis tentang 3 jenis manusia ketika kita membahas topik memberi, yaitu:
Si pengambil yang hanya menerima dan tidak pernah memberi (takers receive and never give). Mereka berfokus pada diri sendiri dan jarang bersedia melakukan sesuatu bagi orang lain. Mereka hanya khawatir tentang apa yang bisa mereka dapatkan dan tidak pernah merasa puas.
Pedagang yang menerima kemudian memberi (traders receive and the give). Mereka memang bersedia memberi namun motivasi utama bukanlah untuk menolong orang lain. Mereka memandang relasi yang ada ibarat sebuah pertukaran (exchange). Kerap kali mereka memberi karena mereka merasa telah berhutang kepada orang yang pernah menolong mereka lalu mereka ingin membuat keadaan menjadi “impas”.
Investor yang memberi kemudian menerima (investors give and then receive). Mereka adalah orang yang berfokus pada orang lain. Mereka terlebih dahulu memberi dan menerima balasannya. Mereka meyakini bahwa kesuksesan datang dari sikap mau menolong, peduli dan membangun. Hasrat mereka adalah membuat segala sesuatu dan setiap orang yang mereka sentuh menjadi lebih baik dan mereka sepenuhnya paham bahwa cara terbaik untuk mencapainya adalah dengan memberikan diri mereka sendiri. Dengan pola pikir seperti ini, mereka kerap kali menjadi orang-orang yang mengalami sebuah hubungan sinergi yang didasarkan atas sama-sama menang (the synergy of win-win relationships).
Sisi Luhur Memberi
Hal Urban dalam bukunya Life’s Greatest Lessons: 20 Things That Matter, menulis:
Saya membutuhkan waktu yang lama untuk melihat salah satu dari semua kebenaran paling sederhana adalah bahwa ada hubungan antara kebaikan-kebaikan konvensional dengan kesehatan dan kebahagiaan kita.Yang saya maksud dengan kebaikan-kebaikan konvensional adalah hidup dengan nilai moral agung yang telah ada sejak Tuhan menciptakan dunia. Hidup dengan moral yang baik adalah satu-satunya cara kita dapat hidup secara damai dengan orang lain dan diri kita sendiri. Inilah sebabnya hakikat yang utama adalah menjadi orang baik.
Hampir senada dengan itu, Warren Wiersbe mengatakan, kita bukanlah tempat penampungan, melainkan saluran berkat, untuk berbagi dengan sesama apa yang telah Tuhan berikan kepada kita berdasarkan kemurahan hati-Nya. We are not reservoirs, but channels of blessing to share with others what God graciously given to us!
Di ujung pertemuan kali ini perkenanlah saya mengutip pesan bijak dari George Sweeting, “When we come to the end of life, the question will be, how much have you given? Not, how much have you gotten?”. Ya, ketika kita berada di ujung kehidupan, maka pertanyaan terpenting yang muncul adalah seberapa banyak yang telah kita berikan, bukan seberapa banyak yang telah kita dapatkan.
Writer : Paulus Winarto
Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer
Baca juga artikel lainnya :
Hidup Berkelimpahan Dengan Menabur Lebih Banyak
Jangan Khawatir, Tuhan Masih Ada
Malawi Jual Pesawat Kepresidenan Untuk Beri Makan Rakyat Miskin
Mengganti Mentalitas Korban Menjadi Mentalitas Pemenang
Percaya Atau Tidak, Mujizat Terjadi Setiap Hari