It is easier to shape a child than to rebuild an adult
- Dr. James Dobson
Malam itu tiba-tiba terdengar bunyi keras: gubrakkk! Selang beberapa detik kemudian terdengar tangisan membahana di dapur. Saya yang saat itu sedang berada di depan komputer di ruang kerja, segera berlari ke arah dapur. Rupanya, Timothy, putra kesayangan kami baru saja terpeleset jatuh. Di dekatnya ada sebatang sapu. Tidak jauh dari situ tampak adanya keripik jamur yang jatuh berceceran dari meja makan. Saya lalu memeluk Timo dan menggendongnya.
Lantai dapur saat itu memang agak licin karena masuknya air hujan dari sela-sela jendela akibat hujan angin beberapa saat sebelumnya. Setelah agak tenang saya mencoba berbicara dari hati ke hati dengannya, “Timo mau ambil sapu untuk membersihkan keripik jamur yang jatuh ya?” Masih dalam keadaaan menangis, ia menjawab, “Iyaaa…” Saya kemudian memberikannya pujian, “Timo anak yang bertanggung jawab. Papa senang tapi lain kali Timo harus lebih hati-hati ya.”
Insiden malam itu membuat saya tersentuh. Apa yang dilakukan anak saya sesungguhnya adalah wujud tanggung jawab. Ya, dengan tidak bosan-bosannya saya dan istri selalu mengatakan kepada kedua anak kami (Priscilla, 7 tahun dan Timothy, 5 tahun) tentang betapa pentingnya tanggung jawab dalam hidup.
Berhubung anak-anak kami masih kecil, tentu kami (saya dan istri) harus menjelaskan dalam bahasa yang mudah mereka pahami. Biasanya kami memberikan contoh perilaku seperti membereskan mainan setelah bermain, mengerjakan PR tepat waktu, tidak begadang jika esoknya sekolah, dan sebagainya.
Timo sendiri sangat bangga manakala di rapornya tertulis: Timo anak yang disiplin dan bertanggung jawab. Guru Bahasa Inggris di kelasnya bahkan menulis: Timo selalu duduk mendengarkan dengan manis saat pelajaran berlangsung. Tanpa disadari pujian seperti ini membuatnya makin termotivasi untuk konsisten dalam mempertahankan perilaku baik tersebut.
Selain tanggung jawab, perkenanlah pada kesempatan ini saya membagikan pengalaman keluarga kami dalam menanamkan nilai kebajikan kepada kedua anak kami.
Bermurah Hati Sejak Usia Dini
Kemurahan hati adalah kualitas hidup yang harus dibina sejak dini. Yang kami lakukan sebagai orang tua adalah secara berkala meminta mereka memilih pakaian dan mainan yang sudah tidak terpakai lagi untuk kemudian dibagikan kepada yang membutuhkan.
Berbeda dengan orang tua lain yang umumnya memberikan uang kepada anak-anaknya untuk kemudian dimasukkan ke dalam kotak persembahan di gereja, kami meminta anak-anak kami mengeluarkan uang dari dompet masing-masing. Uang-uang tersebut adalah uang jajan mereka atau reward atas prestasi tertentu.
Memilih
Sejak masih balita kami mendidik mereka bahwa tidak semua yang mereka inginkan akan mereka dapatkan. Kadang harus bersabar. Kadang harus memilih di antara pilihan yang sulit. Priscilla misalnya pernah saya tanya apakah ia sungguh menginginkan boneka yang merupakan karakter sebuah film kartun? Ia menjawab, ya. Namun saat itu juga saya mengingatkannya, kalau ia memilih untuk membeli boneka itu saat ini maka seluruh duit di dompetnya akan habis. Spontan ia menjawab, tidak mau. Ia memilih untuk menunda keinginannya sembari mengumpulkan uang lebih banyak lagi.
Timo lain lagi. Saya dan ayah mertua pernah menyaksikannya kebingungan sendiri sekitar 30 menit di counter mainan karena harus memilih jenis miniatur mobil apa yang akan dibeli dengan uangnya sendiri. Ketika sudah ada tiga pilihan utama, saya kemudian menjejerkan ketiga miniatur tersebut di depannya. Itu pun ia masih butuh waktu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memilih miniatur forklift.
Meminta Maaf
Mendidik anak untuk minta maaf tidaklah mudah sebab seringkali sebagai orang tua, kita tidak bisa menjadi teladan dalam hal ini. Betapa sering, sebagai orang tua kita gengsi untuk meminta maaf atas kesalahan yang kita lakukan. Saya bersyukur kepada Tuhan bahwa saya bisa melewati fase ini.
Sepekan sebelum artikel ini ditulis, saya berjanji kepada keduanya untuk menjemput mereka saat pulang sekolah. Ternyata siang itu saya mendadak demam tinggi. Saya kemudian meminta istri untuk menjemput keduanya. Di atas secarik kertas, saya kemudian menuliskan permintaan maaf kepada anak-anak. Surat itu masih disimpan oleh Priscilla.
Reward and Punishment
Keseimbangan antara reward dan punishment juga menjadi hal penting dalam keluarga kami. Terkadang kami meminta mereka membuat target sendiri dan jika bisa memenuhinya maka akan diberikan hadiah sesuai kesepakatan.
Terkadang kami harus membatalkan kesepakatan itu karena mereka sendiri yang mengingkarinya. Salah satu contoh sederhana adalah ketika keduanya tidak bisa tenang saat di gereja. Alhasil rencana untuk pergi makan ke resto kesayangan mereka pun batal. Terus terang, terkadang saya juga tidak tega namun untuk pendidikan jangka panjang, saya harus belajar untuk konsisten atas kesepakatan bersama.
Akhirnya …
Seiring perjalanan waktu, kami sangat bersyukur karena kedua anak kami tumbuh menjadi anak yang berkarakter baik. Itu jauh lebih penting dibandingkan mereka hanya semata-mata cerdas secara akademik. Perjalanan tentu masih panjang. Tantangan masih sangat banyak dan kami harus terus berjuang agar semuanya bisa semakin baik.
Di atas semuanya itu, ada satu hal penting lagi yang ingin saya sampaikan. Sebagai orang tua, kami tidak pernah berkata kepada mereka bahwa papa mama sayang karena kalian anak baik. Sebaliknya, kami selalu menegaskan kepada mereka bahwa papa mama sayang karena kalian anak papa mama. Dengan demikian, apa pun yang terjadi mereka akan selalu tahu kalau papa dan mama mengasihi mereka tanpa syarat. Bukankah cinta tanpa syarat selalu menjadi pondasi yang kuat serta pupuk yang subur bagi perkembangan jiwa anak-anak? ***
Writer : Paulus Winarto (Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer)
Sumber : www.pauluswinarto.com