Perspektif yang Benar Mengenai Amanat Agung

Kata Alkitab / 12 May 2013

Kalangan Sendiri

Perspektif yang Benar Mengenai Amanat Agung

Yenny Kartika Official Writer
32404

Orang Kristen sudah sering mendengar bahwa Amanat Agung dalam Matius 28:19-20 sebagai sebuah pesan penting. Mengapa? Karena amanat tersebut adalah perkataan terakhir Yesus sebelum Ia naik ke sorga dan meninggalkan para murid.

Meskipun kita sering mendengarnya, bahkan mungkin mencetak isi Amanat Agung tersebut dan memasangnya sebagai emblem atau poster di sekitar kita, seringkali masih ada kesalahpahaman dalam penerapannya. Untuk itu, mari kita melihat Amanat Agung dari konteks yang seharusnya:

 

#1 Amanat Agung Bukan Hanya Perintah

Jika Amanat Agung dipandang sebagai perintah atau mandat, kita sebagai manusia akan merasa ini hal yang menakutkan, penuh tuntutan, dan berat untuk dilaksanakan. Kenyataannya, Amanat Agung secara komplit berisi mandat yang diapit oleh dua janji indah.

Janji pertama merupakan motivasi dasar dari Amanat Agung itu sendiri: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” Amanat Agung Kristus didasarkan atas kenyataan bahwa Ia, Tuhan yang bangkit, telah menang; dan segala kuasa di sorga dan di bumi ada di dalam tangan-Nya. Janji ini melegakan dan memberi penghiburan, sehingga dalam tantangan dan penderitaan sebesar apapun yang mungkin mendera dalam ketaatan kita pada perintah ini, kita tahu Ia tetap memegang kendali.

Selanjutnya, menyadari kelemahan dan keterbatasan kita, Yesus menutup kalimat perintah-Nya dengan janji yang kedua: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Kita tidak akan pernah sendirian menjalani Amanat Agung ini. Ia bersama dengan kita selamanya! Dalam aspek yang serupa, Paulus juga mengatakan “kasih Kristus yang menguasai kami” ( [kitab]iiKor5:14[/kitab] )untuk terus setia menjalani perintah ini sampai akhir.

 

#2 Amanat Agung Lebih dari Sekadar Penginjilan Semata

Dari empat frase kata kerja yang ada di ayat 19-20: “pergilah”, “jadikanlah…murid”, “baptislah”, dan “ajarkanlah”; dalam bahasa aslinya secara gramatikal, kata perintah (imperative verb) yang utama terletak pada frase “jadikanlah…murid” (Yunani: matheteuosate). Ini berarti perintah yang sesungguhnya adalah untuk menjadikan segala bangsa murid Kristus. Implikasinya, ketiga frase lainnya harus ditempatkan dalam konteks perintah “jadikanlah…murid”.

Proses menjadikan murid memang harus melibatkan penginjilan, tetapi bukan hanya itu. Perintah menjadikan murid—sebagaimana yang Yesus sendiri contohkan—menuntut suatu proses kontinuitas mulai dari seseorang mendengarkan Injil, mengaku percaya (dibaptis), diajarkan segala sesuatu yang pernah Kristus ajarkan dan melakukan segala pengajaran Kristus, sampai pada akhirnya orang itu menyerupai Kristus sendiri (Christ-likeness). Ini adalah suatu proses pemuridan yang utuh.

Rasul Paulus boleh dikatakan sebagai seorang yang sangat giat menjalankan Amanat Agung penginjilan ini, akan tetapi ia juga yang mengatakan dalam Kolose 1:28: “Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus.”

 

#3 Amanat Agung Bukan Hanya Bagi Mereka yang “Pergi” (misionaris atau full-timer)

Terjemahan Alkitab bahasa Indonesia agak lemah dalam menyatakan maksud asli dari ayat ini. Kata perintah “pergilah” memberi kesan bahwa untuk dapat menjalankan Amanat Agung ini, seseorang harus meninggalkan rumahnya, pekerjaannya, atau kondisinya sekarang. Padahal, kata asli yang dipakai untuk “pergilah” (Yunani: poreuothentes) adalah dalam bentuk “aorist participle” dan lebih tepat diartikan sebagai “as the way you go” atau “ke tempat mana saja kamu pergi” atau “di mana saja kamu berada”.

Ini berarti Amanat Agung dimaksudkan untuk dijalankan dalam konteks di mana kita sekarang hidup dan berada—di tengah kampus, kantor, keluarga, gereja, masyarakat, dan negara. Dengan kata lain, Amanat Agung ini adalah bagi setiap orang percaya dalam kesehariannya, walaupun Tuhan bisa saja secara khusus memanggil sebagian orang secara penuh waktu atau sebagian lagi keluar memberitakan Injil ke tempat-tempat terpencil yang Ia kehendaki.

Tempat kita sehari-hari bisa di tengah rimba pedalaman, ataupun dalam riuh rendah pusat perbelanjaan, atau dalam kesibukan kerja kita di kantor dan ruang kuliah di kampus. Seperti bait-bait lagu The Mission yang dilantunkan Steve Green: “Across the street or around the world, the mission is still the same: proclaim and live the truth in Jesus’ name.” Di tengah kota besar atau dalam rimba, jiwa sama berharganya di mata Tuhan, seperti kata salah satu lagu ciptaan Dr. Stephen Tong. Kalau Tuhan panggil kita membawa Injil ke kaum intelektual di kampus atau kota besar, puji Tuhan. Jika Tuhan berkehendak kita pergi ke suku-suku tak terjangkau di daerah pedalaman atau para kaum miskin di perkampungan kumuh dan medan perang, kita juga harus taat.

Selain itu, ada satu hal lagi yang patut kita renungkan. Amanat Agung berkaitan dengan kehidupan keseharian kita, di mana semua orang di sekeliling kita melihat dan menilai kita (tidak ada yang bisa ditutupi). Oleh karena itu, kita perlu bertanya bukan hanya berapa banyak jiwa yang sudah kita bawa semakin dekat pada Kristus, tetapi juga berapa banyak jiwa, yang oleh karena kelakukan dan perkataan kita yang tidak memberi teladan, telah kita bawa semakin jauh dari Kristus. Sangat mengerikan kalau kadang kita membanggakan diri karena telah membawa 1-2 jiwa kepada Kristus, tetapi pada saat yang sama kehidupan dan perkataan kita secara sadar atau tidak sadar telah menggiring 10-20 jiwa semakin jauh dari Kristus.

Tentu saja, kita berharap seperti rasul Paulus yang meyakini tentang dirinya, bahwa ke mana saja ia pergi, ia adalah “bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir (kami) adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan” ([kitab]iiKor2:15-16[/kitab]). Tidak ada aroma netral di sini. Pilihannya hanya ada dua: menjadi bau yang harum bagi mereka yang menerima Kristus atau bau yang mematikan bagi mereka yang menolak.

Jadi, merupakan suatu impotensi rohani ketika kita mencoba untuk hidup tidak saling mengusik kepercayaan orang lain dengan alasan kerukunan umat beragama ataupun sekadar kepengecutan kita. Tidak ada gunanya garam kalau kehilangan asinnya; tidak mungkin terang tidak menyinari sekelilingnya. Amanat Agung berkaitan erat dengan status kita dalam Kristus. Kita adalah milik Kristus, oleh karena itu gaya hidup kita sudah semestinya sejalan dengan Amanat Agung yang Kristus perintahkan.

Senada dengan Paulus, Jim Elliot, seorang misionaris yang mati martir di pedalaman Nikaragua menaikkan doa, “Father, make me a crisis man. Bring those I contact to decision. Let me not be a milepost on a single road. Make me a fork, that men must turn one way or another on facing Christ in me.”

Pada akhirnya, akan ada dua kelompok murid Kristus: kelompok pertama adalah yang sibuk membahas, menelaah, dan memperdebatkan Amanat Agung, sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang menjalankan dan menghidupi Amanat Agung ini. Mari kita renungkan, di mana posisi kita saat ini?

 

BACA JUGA:

Apa Gunanya Kenaikan Yesus Bagi Kita?

3 Film Klasik Tentang Pengangkatan (Rapture)

Yang Roh Kudus Kerjakan di dalam Hidupku

Sumber : Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia Singapura
Halaman :
1

Ikuti Kami