Kisah Nyata Ray Tambunan, si Tukang Kritik

Family / 2 April 2013

Kalangan Sendiri

Kisah Nyata Ray Tambunan, si Tukang Kritik

Yenny Kartika Official Writer
7973

Aku ingin menjadi teladan bagi orang lain bukan dengan memaksakan nilai-nilai yang aku anut ke dalam kehidupan orang lain.

 

Kisah Nyata Si Tukang Kritik

Aku dibesarkan dalam keluarga perokok. Ayah, ibu, dan adik lelakiku adalah perokok. Sewaktu aku memperhatikan tabiat merokok mereka, aku merasa mereka tidak menjadi teladan. Secara pribadi, aku bertentangan dengan mereka. Aku tidak menyetujui apa yang mereka perbuat.

Jika aku bertemu dengan teman-teman sekolah atau kampus yang suka merokok, aku selalu berkata, “Hei, kamu, merokok itu salah!” Mungkin itu merupakan bentuk ekspresi yang tidak tersalurkan, karena di rumah aku tidak mungkin ‘kan menegur orang tua. Jadi akhirnya bentuk pertentangan itu aku lampiaskan kepada teman-teman.

Setelah dewasa, aku menjadi pribadi yang suka menetapkan standarku kepada orang lain. Dalam menilai orang, aku selalu melihat kekurangannya.

Ada sebuah kejadian saat aku sempat menegur seseorang. Karena aku terjun dalam musik, telingaku terlatih untuk peka. Pendengaranku memang lebih baik dibandingkan orang lain pada umumnya. Suatu kali orang ini sedang bernyanyi. Karena merasa ada sesuatu yang “ganjil”, tanpa basa-basi aku langsung mengatakan, “Woi, stop! Fals!” Padahal kepekaan telinga yang kumiliki seharusnya dimanfaatkan untuk dunia musik, bukannya untuk menilai orang lain ‘kan?! Alhasil, orang yang kutegur merasa tersinggung.

Kusadari, banyak orang yang tidak suka denganku. Menurut mereka, aku terlalu jujur dalam mengungkapkan kekurangan orang lain. Sebenarnya sih, aku berharap bahwa melalui perkataanku, orang-orang bisa berubah menjadi lebih baik.

 

Mirip Gorila

Sebuah ajang mengubah hidupku. Ada satu momen dimana posisiku berbalik menjadi seseorang yang dikritik habis-habisan oleh banyak orang. Jadi ceritanya, aku mengikuti salah satu kontes tarik suara di negeri ini. Bayangkan saja, meskipun aku sudah melakukan lebih daripada batas kemampuanku, aku tetap mendapat kritikan. Ya sudah, aku pasrah saja.

Sebuah kritik paling menyakitkan aku dapatkan saat sedang membaca artikel di internet. Dalam artikel ini, topik yang dibahas memang tentang ajang kompetisi yang aku ikuti. Di situ tertera dengan jelas pernyataan bahwa aku adalah peserta yang membosankan. Lalu ada lagi yang lain: aku dikatakan mirip gorila. Kebetulan saat itu teman-temanku sesama peserta kompetisi juga turut serta membacanya. Kontan saja mereka tertawa. Aku juga ikut tertawa sih, namun sebetulnya hatiku sudah hancur tercabik-cabik.

Pada waktu menerima kritikan itu, aku merasa bertukar peran dengan orang-orang yang dahulu pernah kukritik. Jadi begini rupanya perasaan mereka saat aku mengkritik mereka. Aku jadi tersadar juga bahwa kekuranganku itu banyak.

Pola pikir yang selama ini kumiliki mulai mengalami perubahan. Aku sadar bahwa aku bukan orang yang paling benar. Aku masih harus melewati proses pembenaran dari Tuhan setiap hari, supaya aku tahu bagaimana harus bertindak.

Kini aku mengerti, bahwa untuk menyampaikan pendapat kita harus mencari waktu (timing) yang tepat. Kita juga tidak boleh asal hajar saja mengutarakan kritik, tetapi kita butuh kebijaksanaan agar ucapan yang disampaikan dapat membantu mengubah hidup orang lain.

Kuakui, dahulu aku berusaha melakukan kebaikan agar aku terlihat baik di depan orang. Kini, aku belajar bahwa menjadi teladan adalah tindakan natural, bukan dibuat-buat. 

Aku mau sampaikan 7 kata ajaib yang selalu kuingat: “Tuhan ubah dia mulai dari diri saya.” Aku harus berubah terlebih dahulu, maka nantinya orang lain akan terinspirasi dan akan berubah dengan sendirinya—bukan karena kita paksakan.

 

Sumber Kesaksian:

Ray Tambunan

Sumber : V130325193100
Halaman :
1

Ikuti Kami