Masa kecil Sofian Markus Gosal dilewatinya tanpa belaian kasih sayang ayah. Umurnya baru 1 tahun 1 bulan saat ibunya meninggal dunia. Alih-alih mengurus si buah hati, ayahnya malah menitipkan Sofian beserta kakaknya kepada nenek dari pihak ibunya. Seiring berjalannya waktu, neneknya pun meninggal dunia.
Menjelang dewasa, cita-cita Sofian adalah membunuh ayahnya.
“Gara-gara dia (ayahnya), Ibu saya jadi meninggal,” kata Sofian.
Saat libur sekolah SMA, Sofian semakin membulatkan tekadnya. Ia pulang, dan mendapatkan dua kali kesempatan untuk menghabisi pria tersebut. Kesempatan pertama, adalah saat bapaknya sedang memberi makan kuda. Dari belakang, ia sudah siap mengayunkan senjatanya. Tapi badannya selalu gemetaran. Ia tak sanggup melakukannya. Kesempatan selanjutnya tiba saat ayahnya sedang tidur. Jarak antara posisi ayahnya dan dirinya hanya satu meter, tapi anehnya, rasanya sangat sulit bagi Sofian untuk melakukannya. Sebuah suara yang terus terngiang di kepalanya adalah, “Jangan.. Gak boleh..”
Sofian tidak berani menatap masa depannya. Kekecewaannya terhadap sang papa yang tidak menghargai dia, membuat Sofian lari kepada minuman keras. Ia juga mengisi kekosongan yang ada dengan pergaulan bebas dan melibatkan diri dengan para debt collector. Selain itu, Sofian juga melakukan pencurian binatang.
Kebencian-kebencian yang menumpuk ternyata bukan hanya berdampak pada emosinya, tapi juga fisiknya. Pada beberapa bagian tubuh Sofian muncul benjolan-benjolan yang aneh. Bahkan dokter yang ia temui malah menyatakan bahwa tidak terjadi apa-apa pada tubuhnya. Namun, jiwanya semakin hari semakin tak tenang. Jika tidur di malam hari, pikiran Sofian seringkali dipenuhi dengan gambaran-gambaran yang mengerikan.
Suatu kali, ketika Sofian sedang dalam perjalanan pulang sekolah, seorang ibu datang menghampirinya. Ibu ini berpesan, bahwa jika Sofian ingin dikuatkan dan didoakan ia bisa menghubunginya. Sofian tak melewatkan kesempatan ini. Ia pun menghubungi minta didoakan. Tiga hari kemudian, benjolan di tubuh Sofian lenyap.
Sejak itu, Sofian mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Ia mengenal Sosok yang menyediakan masa depan yang baik untuknya. Sofian membuat komitmen bahwa ia harus memulai hidup yang baru. Tuhan yang begitu baik dalam hidup Sofian membuat Sofian menyadari bahwa ada Bapa yang selama ini mengasihi dia apa adanya.
Sofian benar-benar telah berubah 180 derajat. Ketika ia mengingat kembali masa dulu waktu ia hendak menghabisi ayahnya, Sofian tidak menyangka bahwa ia kini telah mengampuni ayahnya. Cita-cita Sofian pun berubah. Ia ingin merangkul, memeluk, dan berkata kepada ayahnya, “Papa, aku tuh sayang sama Papa!”
Sumber : V130212101045