Hamil sebelum menikah menjadi hal yang tak terhindarkan di tengah pergaulan bebas yang semakin berkembang di generasi ini. Sebuah pengalaman nyata dan ungkapan dari seorang yang mengalami langsung kejadian ini kiranya dapat menjadi bahan perenungan kita bersama.
Saat saya mengetahui bahwa diri saya hamil di tahun akhir kuliah saya, sebuah pertanyaan besar menguasai pikiran saya: “Apakah kami akan menikah?”. Siapapun yang mengalami kehamilan tak direncanakan pasti akan menanyakan hal yang sama. Pertanyaan itu bagaikan gajah yang menggantung di udara, menunggu waktu untuk terlontar dari mulut orangtua, kerabat, atau siapapun yang berada di lingkungan Anda. Inilah pertanyaan yang dilontarkan oleh Ben, kekasih yang telah mendampingi saya selama empat tahun terakhir, ketika ia berlutut dan melamar saya di hari yang dingin dan berangin.
Melakukan lamaran di kala telah berbadan dua menimbulkan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hati saya. Lamaran adalah suatu hal yang harus dirayakan dan tentunya menjadi jawaban atas doa-doa saya selama ini, namun di sisi lain dengan kondisi kehamilan ini, hal itu pada akhirnya seperti menjadi suatu keharusan yang dipaksakan.
Saya tidak lagi memahami perasaan saya sendiri. Saya tidak tahu harus bagaimana dalam menghadapi kenyataan bahwa seorang manusia sedang bertumbuh di dalam rahim saya, apalagi membayangkan kurang dari sembilan bulan lagi, saya akan menjadi seorang ibu. Seluruh hidup saya berubah drastis dalam semalam. Apakah saya benar-benar ingin mendapatkan ketenangan dengan melompat masuk ke dalam pernikahan?
Besar di kota kecil mengharuskan kami untuk segera menikah. Tekanan untuk menikah terasa luar biasa. Orang-orang menatap kami seolah-olah kami telah melakukan dosa yang sangat besar dengan hamil di luar nikah. Dan entah bagaimana, mereka berpikir bahwa dengan menikah akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Meskipun fakta yang terjadi tidak selalu seperti itu, namun akan terasa lebih baik ketika anak itu lahir, cincin pernikahan itu telah melingkar di jari manis saya.
Ibuku adalah satu-satunya orang yang tidak meminta saya untuk menikah. Ibu mendesak saya untuk tidak terburu-buru menikah hanya karena saya hamil. Sebagai wanita yang telah menikah, ia tahu keraguan itu akan muncul suatu hari nanti. Dan ibu mengingatkan saya bahwa ia tidak ingin satu saat nanti keraguan itu muncul ke permukaan karena saat ini saya memutuskan menikah lebih berdasar pada kehamilan yang telah terjadi.
Tentu saja saya telah memiliki keraguan itu – Apakah Ben hanya ingin sekedar bertanggungjawab? Apakah kami terlalu muda untuk menikah? Apakah saya sudah siap untuk menghadapi semua ini? Apakah saya memang benar-benar menginginkan pernikahan ini?
Selain itu ada hal lain yang juga menggelayut di benak saya. Misalnya saja fakta bahwa saya menginginkan hari pernikahan saya sempurna. Saya ingin merasa cantik, bukan hamil. Saya ingin memandang Ben dan melihatnya sebagai suami saya, bukan ayah dari anak saya. Saya ingin suasana pernikahan yang sempurna – tarian dan sukacita sepanjang hari. Pernikahan seharusnya menjadi sebuah hari dalam kehidupan seorang wanita dimana segala sesuatunya bicara tentang dirinya. Rambut, gaun, perhiasan – semua itu hanya untuk pengantin wanita. Namun dalam kasus saya, semuanya tergantikan hanya demi sang jabang bayi.
Dan ada fakta lain bahwa hari pernikahan bukan hanya sekedar sebuah hari, namun itu adalah simbol dari kehidupan sempurna yang kita impikan – pengantin yang sempurna, ciuman pertama penuh kasih, awal dari hidup bahagia selamanya. Setiap kita menginginkan pernikahan dalam cerita dongeng. Dan pengantin yang sedang hamil bukanlah bagian dari dongeng. (bersambung.....)
Baca Juga Artikel Lainnya: