Menjelang Natal, drama detik-detik kelahiran Yesus menjadi sesuatu yang akrab dipandangan kita. Disana selalu diceritakan bagaimana Maria dan Yusuf ditolak ketika mencari tempat untuk bersalin. Mereka akhirnya hanya mendapatkan sebuah tempat untuk binatang dan sebuah palungan untuk membaringkan bayi Yesus.
Walaupun memang kondisi saat itu semua rumah penginapan sedang penuh karena banyak orang yang “pulang kampung” untuk sensus, faktanya adalah “Sang Anak Allah yang Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” itu ketika lahir dicatat “tidak ada tempat bagi-Nya”. Rasul Yohanes juga mencatat hal yang sama walau dari perspektif yang berbeda: Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya [kitab]Yohan1:11[/kitab].
Kini setelah lebih dari 2000 tahun paska peristiwa itu, ternyata masih banyak orang yang tetap menolak kelahiran Yesus. Natal yang sejatinya peringatan akan kelahiran Yesus, dieksploitasi sedemikian rupa hingga menjadi sebuah momen untuk pesta pora dan hedonisme. Bahkan kelompok American Atheis dengan lantang mengeluarkan seruan untuk tetap merayakan Natal namun membuang Yesus. Sungguh sebuah ironi yang menyedihkan.
Lalu bagaimana dengan umat Kristen saat ini, sudahkah kita menerima Yesus lahir di hidup kita? Sudahkah kita memberikan ruang di hati kita untuk-Nya bertahta sehingga Dia boleh memerintah dalam hidup kita? Atau jangan-jangan selama ini dalam hati dan hidup kita sekalipun tidak ada tempat bagi-Nya. Kita hanya sibuk merencanakan liburan akhir tahun, belanja kado Natal atau sibuk pelayanan di kebaktian Natal, namun tetap tidak memberi tempat untuk Yesus.
Mari kita memanfaatkan momen malam Natal ini untuk refleksi, apakah Yesus sudah lahir dan bertahta di dalam kehidupan kita.
Sumber : buletinpilar,christianpost/vn